RADARSEMARANG.COM, Semarang – Sopir angkutan kota (angkot) dan taksi di Kota Semarang turut berkomentar soal Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) yang mulai diterapkan Senin (27/4/2020) kemarin.
Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang untuk menghentikan persebaran wabah Covid-19 itu tak membuat para sopir angkutan umum itu kaget. Sebab, kendati tanpa ada aturan pembatasan, angkutan mereka sudah sepi.
Marjono, 46, sopir angkot jurusan Sampangan-Johar mengungkapkan hal itu. Menurutnya, volume penumpangnya sudah terbatas sejak munculnya pandemi covid-19 beberapa waktu lalu.
“Kalaupun dibatasi, angkutan saya juga sudah terbatas. Tiap tarikan paling tinggi tiga atau empat orang saja,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM kala ditemui di tempat pangkalannya, Jalan Pawiyatan Luhur, Bendan Duwur, Semarang, Senin (27/4/2020).
Marjono mengaku, penghasilan per harinya kian turun. Terkadang hanya cukup untuk setoran dan membeli bahan bakar. Saat di temui di pangkalannya, ia sudah menunggu penumpang selama tiga jam. Angkutannya belum terisi satu orangpun.
“Hari ini saya baru narik sekali. Berangkat subuh. Tarikan pertama tadi membawa tiga orang. Sampai sini, sudah tiga jam belum dapat lagi. Memang begini tiap hari sejak ada korona,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kondisi yang terjadi pada dirinya sama halnya apa yang dirasakan sopir lainnya. Bahkan, lanjut dia, banyak yang memilih meliburkan diri karena tak pernah mendapat hasil.”Ya karena cukup untuk setoran dan beli bensin saja. Banyak yang memilih berhenti lama di pangkalan karena kalau muter juga menghabiskan bensin,” tuturnya.
Ia mengungkapkan, sebelum ada korona, hasilnya masih terbilang cukup. Meski tak pasti tiap harinya. Sebab, masih banyak anak sekolah dan pedagang yang pergi ke pasar. Kini, meski pemilik armada mengurangi besaran setoran sebesar 50 persen, tetap terasa berat.
“Gimana tidak? Anak sekolah libur. Pasar sepi. Pedagang jarang pergi ke pasar. Biasanya, saya juga kadang dapat pesanan mengantar rombongan menjenguk ke rumah sakit, atau romobongan kondangan. Sekarang itu dilarang. Saya jadi tak pernah dapat pesanan semacam itu,” bebernya.
Hal senada juga dikatakan Harianto, 65, sopir taksi (Kosti Semarang) di pangkalannya depan Stasiun Tawang. Ia mengungkapkan, hari itu ia belum sama sekali mendapat penumpang.
“Saya berangkat pukul 10.00. Sudah dua jam saya keliling. Berhenti di tempat-tempat biasa. Sampai sekarang berhenti di depan Stasiun Tawang belum juga dapat penumpang,” ungkapnya.
Biasanya, lanjut dia, sering dapat penumpang dari Stasiun Tawang. Namun karena kereta api berhenti beroperasi, ia sering pulang tanpa hasil.”Biasanya masih ada hasil meski sudah dikurangi biaya setor sebesar Rp 270 ribu. Sekarang bisa dilihat, Stasiun Tawang sepi. Saya cari tempat lain juga sepi,” katanya.
Harianto sudah sejak tahun 1990 menjadi supir taksi dan pindah dari armada satu ke armada lain. Ia menilai, kondisi saat ini melebihi krisis tahun 1998.”Saya pernah jadi sopir taksi bandara pada tahun 1998. Karena krisis, bandara sepi, jadi pindah armada. Tapi yang sepi cuma bandara. Tempat lain masih bisa diharapkan. Kalau saat ini, semua sepi. Lebih mengerikan,” pungkasnya. (nra/bas)