32 C
Semarang
Sunday, 13 April 2025

Bikin Kerajinan 1.970 Item, Dipasarkan hingga Luar Negeri

Nuryanto, Seniman Kriya Borobudur yang Memanfaatkan Limbah Kaleng, Kayu dan Kaca

Artikel Lain

RADARSEMRANG.ID,- Limbah seperti kaleng minuman, potongan kayu dan potongan kaca terkadang hanya dibuang begitu saja. Namun, di tangan Nuryanto, 46, seniman kriya asal Dusun Jowahan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, mampu diubahnya menjadi ‘emas’ berupa produk kerajinan bernilai tinggi, bahkan telah tembus ke luar negeri.(AGUS HADIANTO, Magelang, Radar Semarang)

BAGI Nuryanto, limbah minuman kaleng, potongan kayu, kaca maupun pecahan batu adalah sebuah potongan ‘emas’ yang dibuang begitu saja. Di tangannya, limbah itu diubah menjadi karya kreatif yang mendatangkan pundi-pundi rupiah. Ia mengubah limbah tersebut menjadi berbagai jenis kerajinan, antara lain gantungan kunci, perhiasan atau jewellery, hiasan dinding, multicast atau kotak perhiasan yang ditempeli limbah, serta aneka suvenir. Sedikitnya ada 1.970 item kerajinan yang dibuat dari limbah tersebut.

Nuryanto mengaku, awal membuat kerajinan dari limbah dengan melihat banyaknya wisatawan ke Candi Borobudur. Menurut Nuryanto, di satu sisi ekonomi naik, tetapi banyak yang membuang limbah sampah, entah itu botol, kaleng minuman, plastik dan lainnya. Akhirnya, dia mengambil limbah sampah tersebut dan membuat mainan anak-anak dari kaleng susu bekas dan menjualnya di kawasan candi pada saat hari libur. Di luar ekspektasi, produk kerajinannya diminati oleh wisatawan.

“Sepulang sekolah, selama seminggu, saya membuat kerajinan dari kaleng susu, mainan anak dan menjualnya di candi pas libur. Dulu masih malu berjualan, saya cuma duduk di bawah pohon, memamerkan produk. Ternyata banyak yang menanyakan karena seniman kriya di Borobudur saat itu masih sedikit,” cerita pria kelahiran Magelang, 13 Oktober 1974 ini saat ditemui RADARSEMARANG.COM di Galeri Kerajinan Lidiah Art Borobudur.

Ia mengaku, sejak kecil, saat masih duduk di bangku SMP, sudah menyukai prakarya. Nur –sapaan akrabnya– selalu mendapatkan nilai yang bagus untuk mata pelajaran prakarya. Di luar jam sekolah, dirinya kerap membuat kerajinan yang terbuat dari bambu, kayu dan bahan lainnya.

“Setahun saya terpaksa berhenti bersekolah di SMP Muhammadiyah Borobudur. Kemudian saya konsen membuat dan berjualan produk kerajinan di Candi Borobudur. Setelah ada biaya, saya meneruskan sekolah dan berhasil lulus. Saya sempat merantau ke Tangerang, bekerja di pabrik. Lalu banting setir ke Jogja. Di sana, saya magang di PPG, kemudian magang di sekolah tinggi pariwisata di Bali,” bebernya.

Nur mengatakan, setelah lama merantau di Bali, dirinya kembali ke Magelang pada 1999. Kepulangan ke Magelang pun dengan tekad mengembangkan kerajinan. Magelang-lah menjadi tempat pertemuannya dengan istrinya, Fitriyanti. Ia pun memutuskan tinggal di Dusun Jowahan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Keinginan besarnya membuat kerajinan didukung oleh istrinya yang merelakan keluar dari pekerjaannya sebagai karyawati swasta. Tidak hanya bersama istrinya saja, Nur juga mengajak dan memberdayakan anak-anak desa setempat untuk membuat kerajinan.

“Dulu hanya ada dua karyawan, sekarang sudah ada 40 orang. Total jumlah produk kerajinan yang tercipta 1.970 item. Mulai dari gantungan kunci, jewellery, hiasan dinding, multicast, suverir untuk kantor dan sekolah favorit pun ada. Pasar kami dari dalam negeri, hingga luar negeri seperti Singapura, Malaysia hingga Riyadh,” paparnya.

Nur mengaku, dirinya juga bekerja sama dengan para pemulung atau pengepul yang ada di sekitar kawasan wisata Candi Borobudur. Limbah-limbah yang disortir dari pemulung adalah kaleng minuman, potongan kaca, kayu, batu dari pabrik mebel atau toko besi.

“Saya mengajak para pemulung agar tidak hanya mencari sampah bekas minuman kaleng dan dijual per kilo saja. Itu hasilnya sedikit. Saya ajak agar diubah menjadi kerajinan, saya hargai tiap satu kaleng yang sudah di bersihkan dan dibentuk Rp 500. Harga ini cukup tinggi dibanding mereka jual ke pengepul harga per kilo hanya berapa ribu saja,” ucapnya.

Dikatakan, untuk limbah kaleng bekas minuman dibentuknya menjadi gantungan kunci dengan desain yang memukau. Kaleng bekas itu digunting hingga berbentuk lempengan alumunium. Lempengan itu dipres menggunakan besi yang telah diukir sebagai model cetak.

Setelah itu, lempeng yang telah dihias itu ditempel di atas alas berupa potongan kayu dari limbah industri mebel. Untuk finishing, gantungan kunci yang sudah hampir jadi, dilapisi cairan bening yang saat kering akan mengeras seperti kaca.
“Hiasan kaca pun sama, dari limbah toko kaca. Biasanya ada pecahan kaca yang kecil hasil potongan dibuang di gudang. Kami ambil dan potong dengan ukuran 10×10 sentimeter. Pecahan kaca itu kemudian diolah,” imbuhnya.

Kerajinan buatannya diminati baik dalam negeri maupun pasar luar negeri. Pasar dalam negeri seperti Palembang, Lombok, Bali, Sulawesi, Jakarta dan banyak daerah lainnya. Pasar luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Thailand, sampai Riyadh. Harganya mulai dari Rp 3 ribu sampai Rp 15 ribu, tergantung jenis kerajinannya.

“Seperti hiasan bergambar rumah adat tongkonan ke Sulawesi. Kapal phinisi ciri khas Sulawesi dikirim ke sana. Jembatan Ampera pesanan dari Palembang. Hiasan Monas, kami pasarkan di Jakarta, seperti di Ancol, TMII dan Sarinah. Kalau luar negeri seperti Singapura dan Malaysia. Kalau musim haji, kami juga membuat suvenir haji kerja sama dengan biro haji. Ada yang sampai Riyadh. Kerajinan yang umum-umum juga dijual ke Borobudur,” bebernya.

Saat disinggung dengan banyaknya tiruan dari luar negeri, terutama dari Tiongkok, Nur mengaku dirinya tidak takut. Bagi Nur, menjadi perajin harus selalu berinovasi membuat produk kerajinan baru setiap bulan ataupun setiap produksi agar produknya tetap unik dan diminati.

“Sebagai seorang perajin harus terus modifikasi. Seperti di dunia fashion, setelah keluar seri ini, bisa keluar seri berikutnya. Itu penting karena persaingan pasar bebas luar biasa. Meski begitu, kami tak kecil hati karena potensi sumber daya luar biasa,” urai ayah tiga putri tersebut.

Nur mengaku, dirinya akan terus menciptakan kerajinan dari limbah. Baginya, kerajinan yang dibuatnya dari sampah, bisa mengurangi beban sampah yang ada.

“Saya akan terus berinovasi sampai kapanpun. Namanya juga seniman, harus mantep ati. Kadang kalau lagi jenuh dan capek jiwa, saya menyepi ke Ombah Mbudur yang saya bangun. Ombah Mbudur ini memang tujuannya untuk menenangkan jiwa, juga untuk mendapat ide,” tutupnya. (*/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya