RADARSEMARANG.COM, SEMARANG –Kenaikan iuran BPJS Kesehatan mulai Januari 2020 dinilai akan membebani APBD Kota Semarang. Pasalnya, Pemkot Semarang sejak 2016 lalu sudah memiliki program Universal Health Coverage (UHC) khusus untuk warga kurang mampu yang dibiayai melalui APBD Kota Semarang. UHC tersebut hanya melayani untuk fasilitas kesehatan (faskes) kelas 3. Di perjalanannya, UHC akhirnya disinkronkan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu BPJS Kesehatan.
Khusus untuk iuran warga Kota Semarang yang menjadi peserta BPJS Kesehatan kelas 3 disubsidi oleh Pemkot Semarang melalui UHC.
“Ini kita sedang menghitung dan mempelajari regulasinya kenaikannya. Tentunya ini sangat berpengaruh terhadap penganggaran kita di APBD Kota Semarang 2020,” ujar Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang, Anang Budi Utomo, Minggu (10/11).
Dikatakan, selama ini, warga Kota Semarang yang masuk program UHC memiliki tanggungan iuran yang berbeda dengan peserta jaminan kesehatan dari daerah lain. “Misalnya, iuran yang lama untuk UHC yang mandiri itu Rp 25 ribu, kalau yang dibayar pemerintah karena jumlahnya banyak kan menjadi Rp 19 ribu,” katanya.
Kemudian kenaikan iuran BPJS Kesehatan khusus untuk kelas 3 yang menjadi Rp 43 ribu, tentunya harus dipikirkan oleh masing-masing pemerintah daerah yang menerapkan UHC seperti Kota Semarang.
“Walaupun nanti besaran iurannya untuk yang pemerintah dan mendaftarkan jumlah banyak akan ada selisih, mau tidak mau terkait dengan UHC kita harus berhitung lagi,” ujarnya.
Sejauh ini, hitungan dari Komisi D DPRD Kota Semarang, penambahan APBD khusus untuk UHC 2020 bisa mencapai Rp 1 miliar. Besaran tersebut memang hanya 1 persen jika dilihat anggaran APBD yang digunakan untuk UHC selama ini yang mencapai Rp 90 miliar.
Menurutnya, ke depan langkah yang harus dilakukan oleh Pemkot Semarang yaitu semakin memperketat peserta dari UHC itu sendiri. Hal itu dapat menekan besaran anggaran APBD untuk UHC. Misalnya, melakukan validasi data lagi terhadap masing-masing peserta UHC.
“Mungkin ada peserta UHC yang sudah meninggal atau migrasi keluar daerah. Ini kan bisa mengurangi beban Pemkot Semarang,” katanya.
Sehingga disamping langkah penyesuaian yang sifatnya besaran iuran mengalami kenaikan, Pemkot Semarang secara intensifikasi juga harus bisa melihat apakah kepesertaan UHC ini mengalami perubahan atau tidak.
Diharapkan nantinya dengan langkah tersebut, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak berimbas negatif terhadap kondisi keuangan daerah. Menurutnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan sebuah kebijakan yang tidak populis.
Di Kota Semarang sendiri, beban piutang BPJS Kesehatan di RSUD KRMT Wongsonegoro cukup tinggi. Menurut Anang, hal itu harus menjadi perhatian khusus untuk BPJS Kesehatan.
Dikhawatirkan beban piutang tersebut akan memengaruhi pelayanan dari rumah sakit sendiri. “Faktanya di Kota Semarang piutang BPJS Kesehatan di RSUD KRMT Wongsonegoro ini juga cukup tinggi, sampai Rp 50 miliar,” ujarnya.
Selain masalah tersebut, sejauh ini fasilitas dari BPJS Kesehatan juga masih banyak pengecualian. Seperti beberapa penyakit yang tidak bisa tercover. Tentunya itu sangat merugikan masyarakat Kota Semarang yang notabene peserta BPJS Kesehatan. “Kalau diurutkan sekarang, sisa penerima BPJS Kesehatan di Kota Semarang ini kan sudah ditanggung Pemkot Semarang dengan UHC. Yang ditanggung UHC idealnya tidak membebani BPJS Kesehatan,” katanya.
Di sisi lain, sebelum diberlakukan kenaikan iuran, pihak RSUD KRMT Wongsonegoro berharap seharusnya BPJS Kesehatan membayar klaim rumah sakitnya terlebih dahulu.
Dirut RSUD KRMT Wongsonegoro Susi Herawati menuturkan, sampai sekarang klaim tagihan untuk BPJS Kesehatan di rumah sakitnya sudah cukup tinggi.
“Sudah mencapai Rp 65 miliar dan itu belum terbayar,” ujar Susi.
Karena kondisi tersebut, pihaknya tetap berusaha untuk tidak mengurangi kualitas layanan kepada warga masyarakat yang ada. Meski tanggungan pembiayaan BPJS Kesehatan yang belum terbayar di rumah sakit yang dipimpinnya tersebut terlampau tinggi.
Saking bingungnya karena belum terbayar, akhirnya pihak RSUD KRMT Wongsonegoo mengajukan pinjaman ke pihak ke tiga. “Tunggakan sebesar Rp 65 miliar tersebut, sebesar Rp 10 miliar merupakan tunggakan pada 2018 dan sisanya tunggakan dari awal 2019 hingga saat ini,” bebernya.
Sejauh ini, dari BPJS Kesehatan hanya meminta pihak RSUD KRMT Wongsonegoro untuk menunggu. Artinya, tidak ada kejelasan dari pihak BPJS Kesehatan kapan tunggakan tersebut akan dibayar. Susi menegaskan jika pasien RSUD KRMT Wongsonegoro selama ini 90 persen merupakan peserta BPJS Kesehatan.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Moch Abdul Hakam belum bisa dikonfirmasi bagaimana langkah yang akan dilakukan pihaknya terkait dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut.
Sementara itu, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah diantisipasi oleh Pemkot Salatiga. Alokasi anggaran jaring pengaman kesehatan naik 100 persen. Hal itu dilakukan agar pelayanan kesehatan masyarakat tetap terjaga.
Wakil Ketua DPRD Kota Salatiga Latif Nahary menyatakan, jika pemerintah pusat seharusnya tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Pasalnya, saat ini kondisi ekonomi masyarakat sedang kesulitan. “Kondisi ekonomi seperti ini sangat sulit. Kenaikan ini sekali lagi akan sangat memukul masyarakat kita terutama masyarakat bawah,” tutur Latif Nahary kepada Jawa Pos Radar Semarang. Ia berharap pemerintah kota memperhatikan secara serius terhadap dampak kenaikan iuran BPJS di masyarakat.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Salatiga Siti Zuraidah menuturkan, pihaknya sudah mengantisipasi. Dalam program kemitraan kesehatan / UHC, seiring dengan kenaikan BPJS Kesehatan pada 2020, pemkot sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp 25 miliar. Naik dibandingkan 2019 dengan anggaran sebesar Rp 12 miliar.
Peserta UHC yang dicover Pemerintah Kota Salatiga sebanyak 34.345 jiwa. Dari segi pelayanan FKTP maupun rujukan selalu sesuai standar. Apalagi semua Puskesmas dan RSUD dan RS lainnya sudah terakreditasi artinya terstandar. “Semua jenis layanan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan itu ada di aturan. Sehingga tidak ada permasalahan kesehatan karena dijamin oleh BPJS Kesehatan.” (ewb/sas/aro)