RADARSEMARANG.COM, SEMARANG-Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Badan Pengelolaan Pendapatan, Keuangan, dan Aset Daerah (BPPKAD) Kabupaten Kudus nonaktif Akhmad Shofian, akui nekat menjual dua mobil miliknya. Untuk memaksimalkan pemberian suap yang diberikannya kepada Bupati Kudus nonaktif Muhammad Tamzil.
Hal itu disampaikan mantan Kabid Pelayanan Pendaftaran Penduduk Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kudus saat diperiksa sebagai terdakwa perkara dugaan suap pengisian jabatan, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (11/11).
Di hadapan majelis hakim yang dipimpin Sulistyono, Akhmad Shofian, mengaku demi suap, dua mobilnya harus dijual. Meski kondisi keuangannya terbatas, namun keinginannya untuk naik jabatan tinggi. Ia sendiri mengusahakan agar jabatan istrinya juga dipromosikan. “Yang pertama saya sudah jual mobil. Kedua jual mobil Xpander, uangnya buat (suap) yang kedua,” kata Akhmad Shofian, di persidangan.
Menurutnya, uang hasil jual mobil yang kedua, yakni Rp 216 juta. Awalnya uang itu akan digunakan sebagian, untuk membiayai pendidikan kuliah sang anak. “Itu saya punya tabungan buat anak saya kuliah. Soalnya, tahun ini baru masuk kuliah. Tapi saya tarik untuk mengurusi ini dulu,” sebutnya.
Adapun pemberian suap yang ketiga untuk menindaklanjuti permohonan kedua, yakni kenaikan jabatan istrinya. Nominal yang ketiga ia sendiri mengaku awalnya kaget, bahkan sudah pasrah. Apalagi Ajudan Bupati Tamzil, Uka Wisnu Sejati sempat telepon dirinya, dengan alasan bupati meminta tambahan Rp 250 juta. Padahal saat itu, keuangannya, sedang krisis. Kemudian berencana menjual harta pribadinya, namun sudah terbatas. Akhirnya setelah mencari-cari, ia mendapat pinjaman dari rekan kerjanya Putut. “Saya dipinjami Rp 275 juta. Kemudian yang Rp 250 juta saya serahkan ke Pak Uka,” bebernya.
Dalam kesempatan itu, terdakwa juga menyampaikan keinginannya untuk menjadi justice collaborator (JC). Ia mengaku sudah mengatakan seluruhnya di persidangan. Namun atas permohonan itu, hakim Sulistyono mempersilakan mengajukannya secara tertulis. “Kalau mau jadi JC, ya harus berterus terang. Bongkar praktik-praktik seperti itu,” kata hakim Sulityono.
Terdakwa juga mengaku teledor karena tidak berpikir secara matang terlebih dahulu. Antara kenaikan tunjangan dari pangkat yang didapat dengan nominal suap yang diberikan terlihat sangat timpang. “Saya akui tidak sebanding. Tunjangan eselon 3B ke 3A paling naiknya sekitar Rp 200 ribuan. Uang hasil-hasil lain juga nggak ada. Lebihnya cuma itu,” kata Shofian saat dicecar majelis hakim.
Hakim anggota, Dr Robert Pasaribu, kemudian mencecar mengapa bersedia memberi uang, kalau memang kalkulasi keuntungannya tidak seberapa. Belum lagi mengingat kondisi keuangan terdakwa yang biasa-biasa saja.
“Tadi anda (Shofian) bilang kalau nggak punya uang. Harus jual mobil dan hutang ke mana-mana. Terus ngapain mau saja ngasih uang suap,” tanya hakim Robert, dijawab terdakwa mengaku menyesal atas semua itu. (jks/ida)