27 C
Semarang
Sunday, 15 June 2025

Warga Kesongo Pilah Sampah sejak di Rumah

Hari Ini dan Besok Digelar Kongres Sampah

Artikel Lain

 

KERAJINAN SAMPAH : Warga Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang antusias menyiapkan aneka kostum dan kerajinan dari beragam sampah plastik dan kemasan minuman instan, Jumat (11/10). Kostum dan kerajinan itu akan dipamerkan saat Kongres Sampah hari ini dan besok. (ISTIMEWA)
KERAJINAN SAMPAH : Warga Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang antusias menyiapkan aneka kostum dan kerajinan dari beragam sampah plastik dan kemasan minuman instan, Jumat (11/10). Kostum dan kerajinan itu akan dipamerkan saat Kongres Sampah hari ini dan besok. (ISTIMEWA)

RADARSEMARANG.COM, SEMARANG-Keuletan masyarakat Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang (bukan Salatiga, Red) terhadap sampah menjadi magnet kuat terselenggaranya Kongres Sampah yang diinisiasi Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pada Sabtu-Minggu (12-13/10) ini. Sejak di dalam rumah, warga Kesongo telah memilah sampah antara organik dan non-organik di kantong yang berbeda. Setiap pagi warga memasukkan kantong-kantong tersebut ke keranjang.

“Ini keranjangnya juga beda. Ada dua keranjang, keranjang Iso Bosok dan keranjang Ora Iso Bosok,” kata Mareta, warga Dusun Sejambu, Kesongo, Tuntang, Kabupaten Semarang, Jumat (11/10).

Istilah yang digunakan memang sangat sederhana dan mudah dipahami siapapun. Itu mempermudah masyarakat untuk turut serta dalam gerakan sadar sampah. Keranjang Iso Bosok berarti dikhususkan untuk sampah-sampah yang bisa membusuk (organik) dan keranjang Ora Iso Bosok untuk sampah yang tidak bisa membusuk (non-organik).

Untuk sampah yang di keranjang, kata Mareta, kemudian diangkut ke Tempat Penampungan Sementara oleh petugas dari desa. Namun tidak semua sampah non-organik dibuang ke tempat sampah. “Kami memberikan ke tetangga yang membuat kerajinan dari sampah plastik. Ada yang dibuat kostum, bunga, topi dan lain-lain,” katanya.

Kepala Desa Kesongo Supriyadi mengatakan, petugas pengangkut sampah tersebut juga melanjutkan pemisahan sampah. Yang organik langsung masuk ke bak pikap, sementara yang non-organik dimasukkan ke keranjang plastik. “Di TPS petugas tersebut kembali memilah, sampah yang bisa dimanfaatkan dikumpulkan. Sementara yang tidak bisa dimanfaatkan diangkut truk ke TPA,” katanya.

Uniknya, apa yang dilakukan warga Kesongo tersebut bukan karena embel-embel isu bahaya sampah atau semacamnya. Mereka hanya ingin lingkungannya bersih dan sekadar membantu tetangga yang membuat kerajinan berbahan plastik. Meskipun pada mulanya belum ada dua jenis keranjang sampah pembeda tersebut.

“Mulanya hanya dilakukan satu orang yang membuat kerajinan itu. Dia membuat kerajinan dari plastik, itupun karena semula jengkel got depan rumahnya banyak tersumbat sampah plastik. Akhirnya, warga di sini saling getok tular, saling memberi tahu kalau ada sampah plastik jangan dibuang, tapi diberikan ke perajin plastik itu,” katanya.

Begitu desa membentuk Satgas Sampah yang dipimpin langsung oleh Babinsa setempat, lanjut Supriyadi, pengelolaan sampah di Kesongo semakin tertata. Dia merasa mesti melanjutkan apa yang telah dilakukan warganya itu dengan gerakan yang lebih besar.

“Kami bertekad, kalau bisa desa ini tidak lagi mengirim sampah ke TPA. Semua harus bisa kami manfaatkan di sini. Makanya kami bercita-cita membuat Taman Pendidikan Pengelolaan Sampah. Selain taman, di sana juga ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) agar bisa menanamkan pengelolaan sampah sejak dini. Master plan telah kami susun dengan tim KKN Undip,” katanya.

Total saat ini ada 200 kepala keluarga (KK) di Kesongo. Bahkan, telah memiliki keranjang Iso Bosok dan keranjang Ora Iso Bosok. Supriyadi mengatakan, sampai 2021 seluruh warganya yang mencapai 2.800 KK bakal memiliki dua keranjang tersebut di depan rumahnya.

“Yang bisa membuat gerakan ini hanya punya sedikit hambatan adalah karena ini gerakan non komersial dan swadaya. Jadi, PR kami di pemerintahan desa adalah membuat manfaat lebih besar dari sampah yang dikumpulkan oleh masyarakat,” katanya.

Pada Kongres Sampah kali ini, ibu-ibu di Desa Kesongo membuat sofa dari bungkus kopi sachet. Sofa berhias layaknya kursi raja tersebut seluruh bagiannya tertutup anyaman sachet bungkus kopi warna putih. Di bagian atasnya berhias bunga-bunga plastik yang tegak layaknya sandaran di kursi-kursi raja. Sofa hias tersebut diinisiasi oleh Tri Martini, warga Sejambu, Kesongo, Tuntang, Kabupaten Semarang. Dia dibantu sekitar 20 ibu-ibu tetangganya yang datang bergantian.

“Sudah 2.300 sachet kopi instan untuk menyusun anyaman di sofa ini. Sudah dua bulan terakhir kami susun, sehingga jadi seperti itu. Tapi ini masih kurang sedikit. Paling sekitar 500 bungkus lagi untuk menutup bagian belakang bawah sofa,” ujar Martini, Jumat (11/10).

Ibu-ibu di Desa Kesongo memang tidak asing lagi dengan kerajinan yang memanfaatkan sampah plastik. Hampir dua tahun terakhir mereka berkutat dengan di dunia itu. Karyanya pun bermacam-macam, dari kostum, bunga-bunga, topi, alas lantai sampai mainan anak-anak. Sofa yang tengah mereka kebut penyelesaiannya itu, nantinya bakal jadi tempat duduk Gubernur Ganjar Pranowo di acara Kongres Sampah yang digelar di desa tersebut, 12-13 Oktober. “Makanya ini kami kerjakan di depan rumah biar siapapun bisa langsung melihat dan memberi masukan,” katanya.

Meski sebagai pemilik Sekar Samudra, kelompok pembuat kerajinan berbahan sampah plastik, Martini memang membuka masukan dari siapapun termasuk ibu-ibu yang membantu. Karena di lingkaran Sekar Samudra tidak ada imbalan apapun yang diberikan. Bukan hanya ibu-ibu, para remaja putri pun banyak yang terlibat.

“Imbalannya hanya saling membantu kalau ada yang pengin dibuatkan kostum. Plastik-plastik ini juga hasil sumbangan dari tetangga. Semua kerajinan ini biasa digunakan saat ada karnaval. Kalau yang memakai tetangga tidak bayar, tapi kalau yang minjam dari daerah lain memberi sumbangan seikhlasnya untuk beli lem, gunting dan lain-lain,” katanya.

Sumbangan plastik tersebut merupakan salah satu hasil dari kebiasaan masyarakat Desa Kesongo yang memilah sampah sejak dalam rumah. “Warung-warung juga begitu. Sachet minuman instan, makanan ringan sampai bumbu masak mereka kumpulkan dan disumbangkan ke sini. Sekarang yang membuat seperti bukan hanya saya, ada banyak sekarang,” ujarnya.

Kelompok Jelita Karya, misalnya, yang lebih fokus pada pembuatan kostum unik berbahan plastik.

Pemilik Jelita Karya Tri Dwi Purwanto mengatakan, mengikuti pola yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Martini. Yakni, menerima suplai sampah plastik dari para tetangga dan warung-warung.

“Sebagian besar kostum karya Jelita Karya nanti juga bakal diikutkan di Festival Rawa Pening, bagian dari Kongres Sampah,” katanya.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menjelaskan, Kongres Sampah ditujukan untuk mencari solusi penanganan masalah sampah. Segala persoalan dari hulu hingga ke hilir akan dikaji oleh orang-orang yang memiliki kompetensi di dalamnya. ”Yang terpenting adalah mengubah perilaku masyarakat. Maka kita harus memulai dari sekarang untuk bisa mengatasi persoalan ini,” ujarnya. (lhr/ida)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya