RADARSEMARANG.COM, SEMARANG-Menutup lokasi prostitusi, butuh waktu 10 tahun untuk menyiapkan masyarakat, infrastruktur, sosial dan budaya. Hal itu belajar dari negara lain yang sudah berhasil menutup lokalisasi.
“Menutup lokalisasi tidak bisa tiba-tiba ditutup seperti sekarang ini. Semua sporadis. Itu karena moralitas. Padahal kita tahu, moralitas tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah, tetapi oleh individu itu sendiri,” kata Sekretaris Waroeng Ham, Soka Handinah Katjasungkana dalam Mencari Solusi Berperspektif HAM pada Problematika Resosialisasi Sunan Kuning, di Balai RW IV, Kelurahan Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat, Jumat (20/9) kemarin.
Menurutnya, penutupan lokalisasi tersebut bermula dari program Kemensos yang meniru negara Swedia. Sayangnya tidak didahului persiapan matang. “Harusnya program itu dikoordinasikan dengan Kementrian Hukum dan HAM, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Kementrian Kesehatan, Kepolisian, dan Kehakiman untuk penegakan hukumnya. Atau mungkin membuat UU baru,” jelasnya.
Soka mencontohkan negara yang membubarkan prostitusi seperti negara Canada, Swedia dan Perancis, membuat UU baru tentang prostitusi yang menyentuh berbagai persiapan. Mulai dari pendidikan seksual bagi anak-anak, bagaimana melihat seksulitas, melihat tubuh mereka dan sebagainya. Dengan begitu, anak-anak terdidik untuk memahami fenomena tersebut dengan kacamata yang lebih sehat.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Semarang, Muthohar menjelaskan bahwa pihaknya berkomitmen melakukan penataan lokalisasi Sunan Kuning dengan amanah dari Perda dan UU. “Rencana pembubaran Sunan Kuning sudah sejak tahun 2017,” tandasnya. Hadir dalam acara tersebut selain perwakilan dari Pemkot Semarang, ada dari LSM seperti PKBI, LBH Apik dan beberapa LSM lain. (hid/ida)