RADARSEMARANG.COM, SEMARANG – Rencana pembangunan terintegrasi yang akan dilakukan Pemerintah Kota Semarang juga menyasar Kampung Melayu, di Jalan Layur. Potensi di kampung ini memang sangat besar ketika dilakukan penataan.
Ahli tata kota Widya Wijayanti mengatakan, banyak ditemui beragam bangunan di sepanjang jalan ini. Seperti di Penang, Malaysia, kawasan ini bisa dikembangkan menjadi Street of Harmony-nya Semarang.
”Saya waktu ke Penang, mereka mengklaim punya Street of Harmony. Dan sebenarnya kita punya juga di Layur ini. Ada masjid, ada kelenteng. Di situ ada bangunan yang bersejarah juga. Dan ada jalan yang mengantar pada kampung Arab, Kampung Banjar dan sebagainya,” ujarnya.
Ia mengatakan, pengembangan kawasan ini menjadi penting ketika hendak menyampaikan sejarah Kota Semarang secara utuh. Tidak hanya Kota Lama saja. Karena beberapa kawasan terkait satu sama lainnya.
Penggagas kopi Semawis ini mengatakan, berbicara sejarah Kota Semarang, kata kunci yang musti dipegang adalah konektivitas antara satu bagian dengan bagian yang lain. Dalam hal ini adalah Kota Lama, Kampung Melayu, Kampung Arab, dan Kampung Pecinan. Sehingga pembangunan yang dilakukan memang harus terintegrasi.
”Kajian yang dilakukan tahun 2012 tentang kota pusaka di Semarang, berbunyi bahwa kota pusaka Semarang merupakan integrasi antara Kota Lama, Pecinan, Kampung Melayu dan Kanjengan yang ada Masjid Agung itu,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dari hasil penelusuran, ditemukan bahwa Kota Lama sekarang ini adalah bagian yang dikembangkan VOC untuk berdagang dan sudah direncanakan. Tentu dalam hal ini adalah bergadang dengan penduduk lokal yang sudah bermukim sebelumnya.
”Kalau kita mau menyampaikan kepada generasi mendatang, apakah saya akan ngomong Kota Lama saja? Tentu tidak. Kalau Kauman saja, memang sebagai pusat pemerintahan di Kanjengan waktu itu. Namun adanya Kanjengan kan juga tidak lepas dari yang ada di Kota Lama,” ujarnya.
”Sehingga kita tidak bisa mengklaim satu titik saja. Sampaikan kepada generasi masa datang apa saja yang terjadi. Baik atau buruk itu adalah yang terjadi sebelumya. Kita mempelajari positif dan negatifnya,” tambahnya.
Hasan, 40, warga yang memiliki usaha di Jalan Layur tidak keberatan ketika pemerintah kota melakukan pembangunan di kampung Melayu. Hanya saja, jangan sampai pembangunan justru mengganggu budaya setempat. ”Kalau justru untuk mengangkat budaya masyarakat sini tidak apa-apa,” ujarnya. (sga/zal)