RADARSEMARANG.COM, SEMARANG—Eksploitasi sumber daya alam (SDA)—utamanya batubara dan timah— masih menjadi salah satu primadona pendapatan bagi Indonesia sebagai pembangkit listrik dan bahan baku industri lainnya. Namun, di sisi lain, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan tanpa kontrol yang baik dan ketat, bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan, makhluk hidup lainnya, serta sumber penyakit bagi manusia.
Hal itu disampaikan oleh Prof. Dr. Edy Lisdiyono.,S.H., M.Hum dalam pidato pengukuhan penerimaan jabatan guru besar tetap bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang. Pidato pengukuhan berjudul Tanggung Jawab Negara dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam Terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup dibacakan Prof Edy Lisdiyono di depan rapat senat terbuka Universitas 17 Agustus 1945 Semarang pada Sabtu (10/8) hari ini, di Graha Kebangsaan Untag.
Ironisnya, kata Prof Edy, tata kelola terhadap sistem pengelolaan sumber daya—termasuk batu-bara—justru menyisakan masalah besar bagi keberlangsungan pembangunan berkelanjutan. Yaitu, rusaknya kondisi alam dan lingkungan hidup. Termasuk, pencemaran udara. Juga, tidak bertanggung jawabnya pelaku eksplorasi untuk menutup kembali galian tambang yang telah dieksploitasi.
Satu sisi, lanjut Prof Edy Lisdiyono, pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah kurang ketat. Penerapan sanksi juga tidak tegas. Ini berakibat tidak adanya efek jera. “Maka dari itu, para pelaku usaha dalam mengeksplorasi sumber daya alam wajib menggunakan standar perizinan, sesuai fungsi dan tujuannya. Juga yang akuntabel dan transparan serta dapat dipertanggungjawabkan,” kata Dekan Fakultas Hukum Untag Semarang itu.
Masih menurut Prof Edy Lisdiyono, dengan kondisi sumber daya alam sangat melimpah yang dimiliki Indonesia—baik laut maupun di darat–seharusnya dapat meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Ini sebagaimana diatur pada ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Yakni: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
“Namun, faktanya berbeda,” kata Prof Edy. Yang terjadi justru sebaliknya. “Faktanya pengelolaan sumber daya alam “tidak” dilakukan secara mandiri oleh negara, sehingga masyarakat menjadi penonton dan terpinggirkan. Terjadilah konflik horizontal-vertikal, bencana alam, kerusakan lingkungan, bahkan terjadi kemiskinan di masyarakat lokal. Sedangkan para investor (asing) menjadi lebih berkuasa dan bisa mengatur segalanya termasuk dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah,” papar Prof Edy dalam pidato pengukuhannya.
Karena itu, lanjut Prof Edy, seyogyanya negara dalam kewenangannya, harus berani mengoptimalkan kemampuan berpikir sumber daya manusia anak bangsa kita sendiri dalam mengelola sumber daya. Prof Edy berpendapat, tanggung jawab pemerintah dalam melakukan tata kelola terhadap sumber daya alam, tidak hanya sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan. Namun, menyangkut semua lembaga, baik pemerintah maupun nonpemerintah (Badan Usaha)
“Orientasinya tentu harus dari tata kelola yang baik, salah satunya adalah orientasi ideal. Yaitu, negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya. Seperti legitimasi, akuntabilitas, securing of human rights, authonomy and devolution of power, dan juga assurance of civilian control.”
Prof Edy Lisdiyono menyampaikan, negara harus bertindak kuat kaitannya dalam tanggung jawab mengelola sumber daya alam. Artinya, negara terlibat langsung dalam pengelolaan sumber daya alam. “Nah, pada titik ini, negara tidak saja menguasai, melainkan juga menjadi pengendali dan pengatur, yaitu melalui kepemilikan saham dalam perusahaan.”
Negara, kata Prof Edy, tidak saja berposisi sebagai badan publik, melainkan juga diperlukan sebagai badan privat. “Sehingga hasil pengelolaan sumber daya alam bisa digunakan sebagai sumber pendapatan negara secara murni untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.”
Masih menurut Prof Edy, negara harus bijaksana dalam tata kelola sumber daya alam. Caranya, dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Termasuk, masyarakat adat setempat dan dilakukan secara transparan dan akuntabel. “Utamanya, harus memperhatikan fungsi lingkungan hidup agar terjaga kelestariannya secara berkelanjutan.”
Setiap badan usaha dalam mengeksploitasi sumber daya alam, saran Prof Edy, juga wajib memperhatikan kajian lingkungan hidup strategis sebagai dasar negara dalam menerbitkan izin lingkungan. Juga memperhatikan kaidah konservasi, daya dukung lingkungan, optimalisasi sumber daya alam serta tingkat kepadatan penduduk. “Negara juga harus hadir , senantiasa melakukan pengawasan, penegakan dengan penerapan sanksi yang tegas terhadap pelaku perusakan lingkungan hidup,” kata Prof Edy.
Sejumlah pejabat hadir dalam pengukuhan penerimaan jabatan guru besar Prof Dr Edy Lisdiyono S.H, M.Hum. Di antaranya, Direktur Karir dan Kompetensi Sumber Daya Manusia Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, dan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah VI Jawa Tengah. Juga, Ketua Pembina, Pengawas, Pengurus Yayasan Pembina Pendidikan 17 Agustus 1945 Semarang. Rektor Universitas 17 Agustus 194, Dr. Drs. Suparno, MSi serta Wakil Rektor I, II, III, dan IV juga hadir. Lainnya, Ketua Senat Akademik dan para anggota Senat Universitas 17 Agustus 1945, sejumlah rektor perguruan tinggi negeri dan swasta, Ketua Umum Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia, dan tamu undangan lainnya. Gubernur Jawa Tengah, Panglima Kodam IV Diponegoro, Kapolda Jawa Tengah, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, dan pejabat publik lainnya juga diundang pada pengukuhan guru besar Prof Dr Edy Lisdiyono S.H, M.Hum. (isk)