RADARSEMARANG.COM, Rembang—KH Yahya Cholil Staquf atau yang dikenal dengan sapaan Gus Yahya lahir di Rembang pada 16 Februari 1966. Gus Yahya dikenal sebagai kiai, ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Sebelum terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar ke-33 NU di Lampung, dia menjabat sebagai Katib Aam PBNU.
Dilansir dari radarkudus.id, Gus Yahya adalah saudara dari Menteri Agama RI KH. Yaqut Cholil Qoumas. Gus Yahya merupakan putra dari KH. Muhammad Cholil Bisri, salah satu pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia juga dikenal sebagai pengasuh pondok pesantren Roudlotut Tholibien, Leteh, Rembang, Jawa Tengah.
Riwayat pendidikan Gus Yahya, dikutip dari Wikipedia, antara lain pernah menimba ilmu di pesantren dan ia adalah murid KH Ali Maksum di Madrasah Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta.
Pada jenjang pendidikan tinggi, ia tercatat pernah menempuh pendidikan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada. Pada saat menjadi mahasiswa, ia juga aktif dalam Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta.
Gus Yahya pernah menjadi juru bicara Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada 31 Mei 2018, Gus Yahya dilantik oleh Presiden Jokowi menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Istana Negara, Jakarta.
Pada tahun 2014, ia menjadi salah satu inisiator pendiri institut keagamaan di California, Amerika Serikat yaitu Bayt Ar-Rahmah Li adDa’wa Al-Islamiyah rahmatan Li Al-alamin yang mengkaji agama Islam untuk perdamaian dan rahmat alam.
Kakak dari Menteri Agama Gus Yaqut ini pernah dipercaya menjadi tenaga ahli perumus kebijakan pada Dewan Eksekutif Agama Agama di Amerika Serikat – Indonesia yang didirikan berdasarkan perjanjian bilateral yang ditandatangani oleh Presiden Obama dan Presiden Jokowi pada Oktober 2015 untuk menjalin kemitraan strategis antara Amerika Serikat dan Indonesia.
Gus Yahya juga pernah didaulat sebagai utusan GP Ansor dan PKB untuk jaringan politik tersebar di Eropa dan Dunia, Centrist Democrat International (CD) dan European People’s Party (EPP). American Jewish Committee (AJC) pernah mengundangnya berpidato tentang resolusi konflik keagamaan di sana dan menawarkan gagasan bernas.
Gus Yahya sering didaulat menjadi pembicara internasional di luar negeri. Seperti pada Juni 2018, dia menjadi pembicara dalam forum American Jewish Committee (AJC) di Israel. Dalam forum ini, Gus Yahya menyuarakan menyerukan konsep rahmat, sebagai solusi bagi konflik dunia, termasuk konflik yang disebabkan agama. Ia menawarkan perdamaian dunia melalui jalur-jalur penguatan pemahaman agama yang damai.
Usai kunjungannya itu, banyak orang memaki-makinya dengan kasar, menudingnya sebagai antek Israel, marah-marah, bahkan ada yang mendoakannya masuk neraka.
Pada 15 Juli 2021, Gus Yahya mendapatkan apresiasi tinggi dari tokoh-tokoh perdamaian dunia dalam perhelatan International Religious Freedom (IRF) Summit, di Washington, DC, Amerika Serikat. Dalam kesempatan itu, Gus Yahya menyampaikan pidato kunci dengan judul “The Rising Tide of Religious Nationalism”.
Pada hari ketiga konferensi tingkat tinggi (KTT) tersebut Gus Yahya mendapat apresiasi dari tokoh-tokoh dunia. Gus Yahya menjelaskan bahwa dinamika bangkitnya nasionalisme religius merupakan bagian metode untuk pertahanan ketika suatu kelompok agama yang biasanya merupakan mayoritas di negaranya merasa terancam secara budaya.
Menurut Gus Yahya, kebangkitan ini pun tidak terelakkan lantaran dunia tengah bergulat dalam persaingan antar-nilai untuk menentukan corak peradaban di masa depan. Selain itu, dinamika internasional telah mengarah pada perwujudan satu peradaban global yang tunggal dan saling berbaur (single interfused global civilization).
Gus Yahya mempertegas bahwa persaingan yang sengit ini berpotensi besar memicu permusuhan dan kekerasan. Maka dari itu, Gus Yahya mendorong berbagai elemen di dunia menemukan cara untuk mengelolanya sebelum telanjur meletus konflik global yang kian parah.
Solusi yang ditawarkan Gus Yahya adalah dengan menawarkan strategi dan model perdamaian dunia sebagaimana yang selama ini telah dipraktikkan warga NU.
Gus Yahya menawarkan beberapa solusi. Pertama, langkah awal harus diidentifikasi lebih dahulu nilai-nilai apa yang selama ini telah menjadi kesepakatan bersama. Nilai-nilai itu antara lain kejujuran, kasih-sayang dan keadilan.
Kedua, dunia harus membangun konsensus atas nilai-nilai yang perlu disepakati agar semua pihak yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai. Bahkan nilai-nilai tradisional yang menghambat koeksistensi damai pun layak untuk diubah. (radarkudus.id/isk)