RADARSEMARANG.COM, Mungkid – Pandemi Covid-19 menghadirkan tantangan pendidikan yang lebih besar terhadap layanan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Terutama setelah mereka harus menghabiskan waktu belajar di rumah.
Keterbatasan secara kognitif menjadi hambatan terberat bagi ABK untuk dapat ‘menjaga’ kemampuan yang sudah mereka dapatkan di sekolah. Belum lagi jika orang tua di rumah kurang bisa memahami kebutuhan putra- putri mereka yang berkebutuhan khusus.
Hal ini terungkap dalam dialog hybrid bertajuk ‘Menjawab Kebutuhan Disabilitas di Masa Pandemi’ yang digelar Akatara JSA bersama dengan Unicef di Nalendro Cafe, Borobudur, Kabupaten Magelang Sabtu (11/12).
Praktisi Forum Pendidik Madrasah Inklusi (FPMI) Ma’ruf Yuniarno mengatakan, dalam layanan pendidikan, anak dengan kebutuhan khusus masih terdiskriminasi, ketika sekolah masih lebih mengarusutamakan anak- anak yang memiliki kemampuan kognitif (kecerdasan).
Persoalan semakin tidak sederhana bagi anak dengan kebutuhan khusus, ketika pandemi menjadikan pola layanan pendidikan menjadi berubah. Sementara orang tua di rumah tidak bisa serta merta memainkan peran sebagai pendidik yang sangat mereka butuhkan.
“Di sisi lain, tanpa pandemi pun, anak dengan kebutuhan khusus masih kesulitan mendapatkan pendidik yang benar- benar paham dan mengerti apa kebutuhan mereka sesungguhnya,” tambah fasilitator nasional untuk pendidikan inklusi ini.
Psikolog Klinis Anak RSUP Dr Sardjito Yogyakarta Dwi Susilawati mengatakan, setiap anak memiliki keistimewaan yang berbeda- beda dan mereka yang berkebutuhan khusus dan memiliki kekurangan bukan berarti mereka tidak memiliki kemampuan lain yang lebih spesifik.
Orang tua harus bisa memahami apa yang menjadi kebutuhan anak- anak mereka yang berkebutuhan khusus, agar karakter dan kemampuan lebih yang dimiliki anak bisa dimaksimalkan. Namun masih ada orang tua yang kemudian malu punya ABK atau bahkan menutup diri dan menganggap sebagai sesuatu yang tidak harus diketahui oleh orang lain. (*/ton)
