RADARSEMARANG.COM – Maraknya penambangan pasir ilegal galian C di Kabupaten Magelang cukup memprihatinkan. Selain hadirnya pengusaha tambang ilegal, penambangan liar juga marak dengan mencaplok kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan merusak ekosistem lingkungan. Masyarakat dan aparat harus kompak dalam pengawasan tambang ilegal.
Di Kabupaten Magelang, lokasi penambangan terbesar berada di wilayah Srumbung. Setiap hari truk pengangkut pasir berlalu-lalang tiada putus. Hal serupa juga terjadi di wilayah Kecamatan Dukun. Terutama di Desa Keningar. Selain itu juga di wilayah Sungai Senowo, Desa Krinjing, Kecamatan Dukun.
Kepala Desa Keningar Rahmat Sayyidin mengungkapkan, 70 persen lahan di Keningar tidak dikuasai oleh warga sendiri. Sebagian besar disewa oleh penambang pasir. Hanya berjarak 200 meter dari desa sudah ada tambang. Saat ini, tidak ada pembukaan lahan murni. Hanya mengulang di area yang sama.
“Bahkan ada yang sudah menggali hingga mencapai batasnya berupa tanah wadas,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM di Balai Desa Keningar.
Di desanya, saat ini tercatat hanya ada satu penambang legal. Yaitu, Lestari Karya. Izin penambangan dimulai 2021 hingga 2024 nanti.
“Fotokopi izin pernah disampaikan ke desa. Tapi persoalan legalitas sampai mana kami tidak punya kewenangan untuk memeriksa,” ujarnya.
Sebelumnya, lanjut Rahmat, sudah banyak perusahaan yang menambang pasir di wilayah Keningar sejak 1995. Dahulu hanya berada di lahan bengkok. Lalu merambah ke lahan Perhutani. Dan sampai sekarang ke lahan warga. “Tentunya sudah banyak pengusaha tambang di sini beda-beda orang,” tuturnya.
Disinggung soal adanya tambang, Rahmat memastikan sebagian besar masyarakat legowo. Data terakhir yang didapatkan salah satu LSM Jatanras 2021 silam mengungkap hanya ada lima KK dari 253 KK yang menolak tambang.
“Mungkin masyarakat menyadari tambang itu juga menjadi sumber ekonomi atau ya sudahlah karena tidak punya kuasa,” katanya.
Namun, ia menyayangkan peran masyarakat Keningar sendiri. Sebagian besar hanya menjadi penonton saja atau paling tidak jadi buruh. Meskipun wilayahnya dikaruniai pasir melimpah, namun tidak menjamin meningkatnya perekonomian warga secara signifikan.
“Yang bisa kerja ya warga yang punya truk. Itupun hanya beberapa,” tandasnya.
Pihaknya juga selalu berkomunikasi dengan pemilik tambang yang sama-sama warga Kecamatan Dukun. Ia juga selalu memeriksa atau mempertanyakan legalitas izin pertambangan.
“Pernah konsultasi dengan kepolisian untuk mengecek apakah asli atau tidak. Dan kita sempat kebingungan juga. Bahkan ESDM pun harus mencari tenaga ahli untuk mengidentifikasi perizinan itu asli atau tidak,” cerita Rahmat.
Ia menambahkan, pihak ESDM sempat mengungkapkan bahwa perizinan diambil alih ke pusat. Di sisi lain beberapa forum perizinan seperti DLH dan DPMPTSP Kabupaten Magelang pernah menyatakan adanya kebocoran beberapa perizinan.
“Namun sudah dilaporkan ke pusat untuk evaluasi pada 2021 lalu,” ungkapnya.
Sebenarnya, kata dia, pemerintah desa tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya memantau dari jauh. Mengatur muatan, jam operasional, dan hal-hal yang berdampak buruk bagi warganya. Sebab, pemilik lahan sudah jatuh ke tangan pengusaha.
“Kita sudah kalah di situ (perizinan warga). Mereka bilang kalau tidak dikontrak, apa desa bisa mengganti kebutuhan ekonomi keluarga. Jelas kami tidak bisa,” urainya
Menurutnya, tidak sulit membedakan antara tambang ilegal dan legal. Pertama, selagi masih sesuai peta tambang tidak masalah. Kedua, kelengkapan izin usaha. Baik itu Online Single Submission (OSS) dan Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB). “Itu bisa jalan kalau ada proyek pembangunan negara,” kata Rahmat.