RADARSEMARANG.COM – Konservasi Candi Borobudur menjadi salah satu alasan dilakukan pembatasan pengunjung yang naik ke struktur Candi Borobudur. Candi Buddha ini telah mengalami kerusakan di sana-sini. Berikut cerita petugas Balai Konservasi Borobudur (BKB) yang selama ini rutin melakukan perawatan candi.
Bramantara berjalan pelan di pelataran Candi Borobudur. Bersama koran ini, pria yang menjadi Ketua Pokja Pemeliharaan Candi Borobudur, Balai Konservasi Borobudur (BKB) ini menunjukkan sejumlah bagian batu candi yang mengalami keausan.
Salah satunya di pintu utama naik ke candi. Tampak sejumlah batu sudah aus. Selain itu, patung-patung buddha juga ada beberapa yang tidak lengkap. Ada yang tinggal badan, tidak punya kepala dan tangan. Ada juga yang tidak punya kepala, tapi lengkap badannya.
Pria yang biasa dipanggil Mas Bram ini mengaku, selama menjadi tim perawatan candi, kerap menemukan jejak atau ulah manusia yang bisa menyebabkan kerusakan pada candi Peninggalan Dinasti Syailendra yang sudah berusia 1.197 tahun tersebut. (Candi Borobudur dibangun sekitar 780-840 Masehi dan menjadi peninggalan Buddha terbesar di dunia, Red).
“Seperti jejak puntung rokok, permen karet yang ditempelkan pada candi, serta beragam coretan (vandalisme). Juga goresan sepatu pada badan candi sering kita temui,” ujarnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Dikatakan, ulah jahil itu biasa dijumpai saat jumlah kunjungan wisata di Candi Borobudur sedang tinggi.
“Tapi, selama pandemi ini atau selama dua tahun ditetapkannya larangan naik ke candi, ulah jahil itu jarang kita temui. Batuan candi kotor atau lainnya, paling banyak karena faktor alam,” katanya.
Bram mengaku heran dengan etika dan attitude pengunjung. Ia mengetahui dari berbagai foto yang beredar, di situ ada tanda dilarang untuk menaiki stupa, namun wisatawan masih tetap nekat dan naik untuk foto-foto.
“Padahal larangan itu bertujuan untuk menjaga kondisi batu agar tidak aus. Kita bisa melihat di bagian lantai dan tangga candi nampak keausan jelas terlihat. Hal ini penyebab utamanya tingginya jumlah kunjungan ke candi yang menyebabkan tingginya gesekan antara alas kaki dengan batu,” jelasnya.
Ia mengatakan, selain melakukan monitoring kondisi batu candi dan kawasan candi, pihaknya setiap hari rutin melakukan pembersihan. “Ada pembersihan kering (dry cleaning), pembersihan basah (wet cleaning), dan pembersihan kimiawi yang menggunakan bahan kimia AC322. Ini merupakan campuran bahan Amonium bicarboat, Sodium bicarbonat, CMC, Aquamoline, dan arkopal yang dicampur dengan air hingga membentuk pasta,” bebernya.
Diakui, yang bisa menyebabkan kerusakan pada Candi Borobudur, yakni cuaca, iklim yang berubah-ubah, serta faktor manusia. Biasanya, lanjut dia, pada musim kemarau, untuk satu keliling candi bisa membersihkan keseluruhan. Baik dari sisi utara, timur, selatan, dan barat. Namun kalau musim penghujan, perlu lebih dari satu keliling. Karena setiap sisi selesai dibersihkan, pasti beberapa saat kemudian akan kotor lagi.
Bram berharap, ada kesadaran masyarakat dalam upaya konservasi di Candi Borobudur. Tidak hanya BKB yang bertugas merawat, namun pengunjung atau wisatawan juga harus bisa sama-sama ikut menjaga.
“Jangan hanya bisanya menikmati saja, namun juga bisa ikut serta menjaga dan melestarikan,” harapnya.
Dikatakan, Candi Borobudur pernah dilakukan pemugaran pada 1973-1983, yang diinisiasi Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNESCO. Sedangkan pemugaran pertama dilakukan pada 1907-1911 oleh Pemerintah Hindia-Belanda, dipimpin oleh teknisi sipil militer bernama Theodore Van Erp. (rfk/aro)