RADARSEMARANG.COM – OHD Tidar Heritage, museum terakhir yang dikunjungi tim jalan-jalan jurnalistik Radar Magelang. Di sini, dulu dr Oei Hong Djien tinggal bersama orang tuanya.
Rumah di Jalan Tidar no 22 Kota Magelang itu kelihatan tua sekali. Seperti rumah zaman Belanda. Pada dindingnya tertulis huruf kanji. Pintu pagarnya terkunci. Rerumputan liar tumbuh di sekitar halaman. Kesannya seperti rumah suwung. Horor.
Untuk masuk ke rumah itu harus memanggil penjaganya. Mochamad Fakurodin, yang mengantar rombongan wartawan Radar Magelang, tidak cukup mengetuk-ngetuk pintu pagar. Asisten dr Oei Hong Djien itu harus menggunakan handphone. “Kita parkir di dalam saja,” ajak Mohamad Fakurodin yang akrab disapa Pak Udin, Jumat siang (18/2).
Dokter Oei Hong Djien, pemilik rumah, menyambut dengan tertawa lebar. Mengenakan pakaian warna-warni seperti permen lolipop. Duduk setengah rebahan di depan pintu masuk. Dikelilingi semut-semut besar. Itu seni instalasi yang menyambut setiap pengunjung Museum OHD Tidar Heritage. Karya Kelompok Semut itu menarik perhatian. Karena warna-warnanya mencolok. Kata Pak Udin, menggambarkan Oei Hong Djien ibarat gula yang dikeliling semut.
Bangunan museum itu ada di belakang rumah induk. Memanjang sekitar 400 meter persegi. Pintunya masih tertutup rapat. Pak Udin membuka pintu itu. Sepasang patung loro blonyo menyambut. Tidak di depan atau di balik pintu seperti pada umumnya. Tetapi, di sudut ruangan.
Puput Puspitasari, yang memimpin rombongan, tertarik sebuah kutang bikini persis di tengah ruang bagian depan museum. Penutup dada wanita itu seperti di awang-awang. Tali penggantungnya dari senar tak kelihatan. “Pak Baehaqi berdiri di sini,” pinta Puput kepada direktur Radar Semarang dan Radar Kudus yang menjadi peserta jalan-jalan jurnalistik itu.
Baehaqi berdiri di belakang kutang. Kakinya jinjit untuk menyesuaikan ketinggian. Puput memotret dari depan. Jadilah wakil direktur Jawa Pos Radar Group itu seperti mengenakan kutang. Bercelana jeans ketat. Bersepatu both. Lis Retno tertawa cekikan. Instalasi unik itu karya Arlan Kamil berjudul Seksikah Aku.
Beranjak ke ruang tengah, rombongan disuguhi berbagai lukisan besar karya para maestro terkenal. Ada lukisan Hendra Gunawan yang berjudul Aloen-Aloen Kidul tahun 1916-1983. Lukisan ini menceritakan kondisi Alun-Alun Kidul Jogjakarta kala itu. Ada juga lukisan Night Market. Ruangan ini didominasi lukisan Hendra Gunawan.
Dipajang juga karya Soedibio, S. Sudjojono, Kartono Yudhokusumo, Harijadi, Itji Tarmizi dan Affandi. Selain melihat berbagai macam lukisan, di ruangan pertama ini rombongan juga diperlihatkan berbagai sketsa awal lukisan.
Lukisan para mestro itu menjadi ikon Museum OHD Tidar Heritage. Rombongan yang awam akan lukisan kesulitan mencerna. Untung Pak Udin menjelaskan satu per satu. Dia paham betul semua isi museum.
Belum banyak orang yang berkunjung ke museum itu. Saat rombongan kami di sana tidak ada satupun pengunjung. Kebetulan hari itu cuaca sedang tidak baik. Hujan mengguyur sejak pagi. “Memang yang ke sini hanya orang-orang tertentu,” kata Pak Udin. Kami beruntung bisa diantar. Orang lain bisa berkunjung ke museum ini dengan request terlebih dahulu.
Beranjak lebih ke dalam perhatian tercuri oleh potongan pesawat yang teronggok di lantai. Moncongnya terkelupas. Kelihatan mesinnya. Sayapnya patah. Kabel-kabel keleweran di kokpit. Rofiq sama sekali tak mengira kalau bangkai pesawat itu seni instalasi. “Ini terbuat dari kardus,” kata Pak Udin memecah konsentrasi rombongan yang serius mengamati potongan pesawat itu. Instalasi itu karya Yudi Sulistyo berjudul Pesawat Terbangku dibuat pada tahun 2009.
Lepas dari pesawat pikiran kembali ke tembok yang memanjang. Dipenuhi berbagai lukisan. Di sini ada lukisan dari Soedibio yang berjudul Beneath The Death Angel 1912-1981. Dalam lukisan ini tampak rakyat pribumi yang digantung kedua tangannya oleh tentara berbaju hijau.
Lebih ke belakang lagi atau tepatnya ruangan terakhir, ada layar televisi besar. Layar yang menutupi tembok bagian belakang ini, terdiri dari 234 tayangan televisi yang dijadikan satu. Karya Angki Purbandono ini berjudul TV Lovers. Menggambarkan tayangan televisi yang tidak sempurna. Ada yang gambarnya mleyot, ada yang bergaris-garis.
“Ini kritik dari perupanya yang saat itu gambar di layar televisinya tidak sempurna,”cetus Pak Udin. Layar itu menyala perlahan-lahan dari sisi kiri. Seperti televisi yang hidup.
Terdapat sebuah kursi untuk menonton televisi tadi. Uniknya kursi ini disusun dari remot. Berjudul Kursi Remot Kontrol, buatan Samuel Indratma.
Saat hendak berpindah ruangan, pandangan Lis Retno jatuh pada patung anak kecil berseragam merah putih karya Bunga Jeruk berjudul Selamat Belajar. ”Ini kakak kelas saya di SMA 2 Solo. Nama lengkapnya Bunga Jeruk Permata Pekerti,” ucap Lis.
Bunga Jeruk salah satu perupa perempuan Indonesia yang kerap berpameran. Baik di Indonesia maupun mancanegara.
Adanya kutang bikini, potongan pesawat, serta seni instalasi lainnya, mencairkan pikiran. Rombongan tidak terlalu serius di museum seni lukis yang sarat akan makna tersirat. Inilah misi Pak Oei Hong Djien mengajak pengunjung menikmati koleksinya, dan mendidik masyarakat akan seni rupa.

Kamar-Kamar Dipenuhi Foto Kenangan
Lepas dari museum, rombongan dibawa oleh Pak Udin ke rumah tinggal di komplek itu. Dari luar kelihatan seperti rumah kuno biasa. Tetapi dalamnya membikin kami berdecak kagum. Begitu masuk, gambar Pak Oei menyambut dengan senyum lebar. Lampu-lampu gantung menghiasi ruangan. “Ini masih asli. Kapnya mahal sekali,” kata Baehaqi. “Saya belum pernah menemukan tiruan kap yang ini,” tambahnya.
Di bawahnya membujur meja dari kayu yang dipotong natural. Panjangnya sekitar 5 meter. Baehagi mengukur dengan menghitung tegel lantai. Sedang lebar sekitar 1,25 meter. Ketebalan sekitar 18 centimeter. Meja raksasa itu milik menantu Pak Oei Hong Djien. Tegel rumah itu juga kuno. Berwarna hitam dan kuning. Bersih.
Sebelum masuk ke ruangan utama rumah pribadi Pak Oei, kami melihat-lihat kamar yang berjajar-jajar. Ada kamar mandi di bagian depan. Di rumah masa kecil Pak Oei itu terdapat lebih dari 5 kamar atau ruangan berjajar. Setiap kamar terdapat tempat tidur dan meja kursi kuno bernuansa Tionghoa. ”Menantu Pak Oei suka mengoleksi barang antik,”cetus Pak Udin.
Di salah satu tembok kamar dipajang foto-foto pribadi Pak Oei dan keluarganya. Foto masa kecilnya. Juga ada foto bersama (almarhum) istri, anak, menantu serta cucu. Terdapat pula ijazah dokternya tahun 1964 dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Piagam penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia juga ditempelkan di tembok kamar. Diberikan pada Pak Oei karena telah menyelenggarakan pernikahan anaknya, Ignatius Igor Rahmanadi dengan Letty Surjo, yang keseluruhan acaranya berupa kegiatan berkesenian pada Juli 2006.
Semua lantai dan perabotan itu di rumah itu masih terawat. Tertata rapi. Dua orang pekerja terus membersihkan. Siang itu kelihatan seorang pekerja seorang mengelap pintu-pintu dan jendela yang semua dari kayu jati. Lantainya yang dari tegel kuno masih kelihatan kinclong.
Pukul 15.00 setelah dua jam di Museum OHD Tidak Heritage rombongan pamit pulang. Namun Pak Udin masih memameri patung di halaman. Itu patung buatan Akmal Jaya. Patung itu dipahat dari batu utuh yang memang dipesan khusus oleh Pak Oei. Di depan patung itu ada ayunan. Masih berfungsi. Riri mencobanya.
Di sebelah ayunan ada dua pohon besar. Pak Udin lupa namanya. Kami juga tidak tahu. Pak Udin mengatakan, di pohon itu ada penghuninya. Riri terhenyak. Beranjak meninggalkan ayunannya. Baehaqi pamitan kepada penghuni itu. “Kita berteman,” ujarnya. Lis dan Puput mengucap salam, Assalamualaikum. Baehaqi melambaikan tangan.

Siapkan Ruang Pamer Khusus
Sebelum meninggalkan OHD Tidar Heritage, Pak Udin mengajak kami ke satu bangunan lagi. Temboknya tanpa plester. Bahkan sengaja dikelupas agar terlihat keaslian—merahnya batu bata.
Bangunan ini terlihat biasa. Seperti bekas gudang. Ternyata benar. Dulu, bangunan ini dipakai untuk menyimpan tembakau yang akan atau sudah dirajang. Sekarang sudah dibersihkan. Juga tanpa sekat. Bentuk ruangannya jadi memanjang. Sudah banyak karya seniman yang terpampang. Baik lukisan maupun instalasi.
Ruangan ini akan difungsikan sebagai galeri. Karya-karya di dalamnya dijual. Selain untuk membantu ekonomi para seniman, hasil penjualan menyokong operasional museum. Tujuan lain, memudahkan para kolektor berburu karya seni rupa.
Salah satu karya yang menonjol adalah lukisan seseorang yang sedang bersujud. Memakai kopiah dan busana muslim serba putih. Lukisan ini ditempatkan di dekat pintu masuk. (hq/rfk/put/lis)