RADARSEMARANG.COM – Jawa Pos Radar Magelang mengadakan Jalan-Jalan Jurnalistik. Lokasinya tiga Museum Oei Hong Djien (OHD). Yakni OHD Private di Jalan Diponegoro no 74, OHD Jalan Jenggala no 14 dan OHD Tidar Heritage di Jalan Tidar no 22 Kota Magelang.
Museum OHD Private adalah museum pertama yang didirikan dr Oei Hong Djien. Bisa dibilang, museum ini menyimpan beberapa koleksi karya-karya yang lebih “berani” milik Pak Oei, begitu ia ingin dipanggil. Tim Jalan-jalan Jurnalistik Radar Magelang mengunjunginya.
Sabtu (12/2), jam sudah menunjukkan pukul 10.45. Kami janjian dengan dr Oei Hong Djien. Bertemu di rumahnya Jalan Diponegoro no 74 Kota Magelang. Puput Puspitasari berangkat lebih dulu. Peserta lain, Baehaqi, Lis Retno Wibowo, Riri Rahayu, Luqman Sulistyawan, Rofik Syarif G.P. menyusul.
Siang itu, cuaca di Kota Magelang terasa dingin. Awan mendung mengarak perjalanan menuju kediaman Pak Oei yang juga museum OHD yang lebih privat.
Setiba di sana, butiran air hujan mulai jatuh. Seorang tukang kebun laki-laki yang melihat Puput langsung berlari. Menghampiri. “Sudah janjian ya mbak?” tanya dia. Puput meyakinkannya. Maklum, hanya tamu-tamu tertentu saja yang diterima di sini. Pagar besi itu kemudian didorong olehnya. Puput dipersilakan masuk dan memarkir sepeda motor.
Pak Oei menyapa dengan tawanya yang khas. “Ha ha ha. Mari-mari,” ucapnya sembari mempersilakan duduk, dengan gerakan tangannya. “Mana yang lain?” tanyanya kepada Puput yang memang datang lebih dulu.
Tak berapa lama kemudian, Baehaqi, Lis, Riri, Rofik dan Luqman tiba. Begitu masuk ruang tamu, mereka kaget. Ada patung payudara besar. Berwarna ungu muda. Bergambar peta dunia. Lebarnya sekitar 3 meter. “Wow, besar sekali,” bisik Lis kepada Riri sembari tertawa.
Lebih dari satu jam kami mendengarkan perbincangan Direktur RADARSEMARANG.COM Baehaqi dengan Pak Oei. Lalu kami diajak ke ruang tengah. Di situ ada lukisan besar. Satu lukisan karya Affandi yang dibeli dari Rio de Janeiro, Brasil. Lukisan ini ditempatkan dekat tempat bersantai. Di balik dinding ruang kerjanya. Ada pula lukisan Panen Padi karya Hendra Gunawan.
Ruang tengah ini menyambung dengan dapur rumah Pak Oei. Ruangannya terbuka. Kita langsung melihat taman kecil. Di taman ini ada patung besar pemberian Edhi Sunarso. Seorang pematung fenomenal Indonesia. Salah satu karya monumentalnya adalah patung “Selamat Datang” di depan Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Pada era Presiden Sukarno.
Dekat taman ini, juga ada bangunan seperti rumah. Ada terasnya. Terdapat kacamata raksasa yang ditempatkan di atap gedung. Ini adalah bangunan museum privasi milik Pak Oei. Totalnya dua lantai. Kami masuk ke museum melalui pintu belakang. Pintu ini adalah akses menuju lantai dua.
Patung Pak Oei menyambut kedatangan kami. Ada sebuah benda mirip timbangan berat badan. Gambarnya dua telapak kaki. Benda ini berada di depan patung Pak Oei. “Ayo naik saja. Nggak apa-apa,” kata Mochamad Fakurodin pegawai museum yang ikut mendampingi rombongan. Lis mencoba naik ke timbangan namun tak ada suara apapun. “Wah berat badannya kurang itu,” cetus Pak Udin, sapaan akrab Fakurodin, sembari tertawa.
Rofik penasaran. Kakinya naik ke timbangan. Sontak patung bergerak dan terdengar suara tawa khas Pak Oei. Kami pun ikut tertawa Ia turun, lantas mencoba beberapa kali patung kinetik. Patung tersebut merupakan kado dari seniman, ketika Pak Oei menggelar resepsi pernikahan anak sulungnya bertema “Art Wedding”.
Di lantai dua itu dipajang pula karya pelukis wanita pertama di Indonesia. Yakni Emiria Soenassa. Berjudul Kembang Kamboja dilukis pada 1958. “Emiria ini merupakan pelukis wanita pertama di Indonesia yang kemungkinan berasal dari Maluku. Karena menurut sejarah yang saya baca Emiria ini anak dari Sultan Tidore,” jelas Pak Oei. OHD memiliki 2 koleksi lukisan karya Emiria. Satu di Jalan Diponegoro dan lainnya di OHD Heritage Tidar.
Bola mata ini mengarah ke ruangan yang bersekat-sekat. Sedikit tersembunyi. Kaget bukan kepayang. Ada patung perempuan telanjang. Rambutnya terurai. Menutupi satu sisi pipinya. Tubuhnya juga meringkuk. Tangannya mengepal. Mengekspresikan kedinginan.
“Modelnya manis ya,” tanya Puput kepada Rofik. Dia mengiyakan. Kami sepakat. Puput meminta Rofik memotret di dekat patung itu. Tapi untuk dokumen pribadi. Semua penasaran dengan patung garapan perupa Edhi Sunarso itu. Patung ini juga punya banyak cerita. Salah satunya, keaslian rambut kemaluan patung ini adalah milik pematungnya.

Relief Karya Widayat Hiasi Fasad Museum
Puas melihat-lihat koleksi di lantai dua, kami diajak turun. Rasa takjub ini tidak berhenti. Karena ada puluhan patung wajah, berbagai ekspresi. Ditata di bawah tangga. Ada yang senyum. Ada yang melongo. Bahannya dari tanah liat.
Di lantai pertama ini, ada instalasi berwarna merah darah. Bentuknya mirip papan petunjuk arah. Tapi bukan ditulisi arah mata angin. Melainkan nama-nama agama yang dianut warga Indonesia.
Di dekat ini, ada patung songgowang karya Wahyu T Santoso. Berbahan perunggu. Selanjutnya, Pak Oei mengajak kami keluar gedung melalui pintu utama. Inilah sebenarnya pintu memasuki museum. Pria berusia 82 tahun itu langsung menunjuk sebuah relief berbahan marmer yang tertempel di dinding. Menghiasi fasad gedung. Gambar pada relief ini sarat makna. Menceritakan perjalanan Pak Oei mencintai seni rupa relief di atas batu marmer. Terpasang di pintu masuk. Menghiasi fasad Museum OHD (Private). “Ini hadiah dari Widayat,” katanya sambil menunjuk.
Karya seniman Widayat itu setinggi gedung museum. Ukurannya potrait. Warna dasarnya hampir sama dengan cat tembok museum, krem. Garis luarnya berwarna kecoklatan. Sedikit lebih tajam, dari warna gambar utama. Baehaqi terkagum-kagum. Ia mengangguk-anggukan kepala. “Luar biasa,” ucapnya memuji.
Relief ini bergambar sebuah gunung. Sekelilingnya sawah-sawah. Menggambarkan bahwa Magelang merupakan daerah pertanian. Tembakau, salah satu hasil pertanian terbesarnya. Pada karya ini, pohon tembakau digambar dengan berbagai ukuran dan bentuk. Di sebelahnya ada gudang tembakau.
“Itu tanaman tembakau dari ceblok, siap petik, dirajang, masuk keranjang, ditumpuk, akhirnya dikonversikan jadi karya seni koleksi ini dan museum ini,” jelasnya. Tembakau memang tak bisa dilepaskan dari kehidupan Pak Oei. Pria kelahiran 5 April 1939 ini pernah puluhan tahun menjadi grader atau penilai kualitas tembakau di PT Djarum.
Sedangkan gambar yang paling bawah adalah gambaran tentang kehidupan pak Oei saat ini. Tergambar sebuah ruangan yang lengkap dengan hiasan karya-karya seni rupa. Serta gambar ikan yang sedang berenang.
“Saya ingin hidup sehat seperti ikan di air, yo bebas seperti burung terbang di udara,” imbuhnya.
Usai mendengar penjelasan itu, kami foto bersama. Pak Udin yang mengambil gambar kami. Oh ya, pintu utama Museum OHD (Private) ini berada di depan Lapangan Kwarasan. Di kawasan kantor Kecamatan Magelang Tengah, di Cacaban. Meski dalam satu lingkungan rumah Pak Oei, tapi bangunan museum ini berada di jalan atau Gang Kunci. Bukan di Jalan Diponegoro.
Koleksi Tertua, Lukisan Raden Saleh
Usai berfoto, kami kembali masuk museum. Setelah pintu utama, ada satu pintu lagi yang harus dilewati. Gebyok berwarna coklat tua, dari Kudus. Penempatan gebyok ini kontras dengan pemandangan di dalam museum yang lebih modern. Tertata sangat rapi, dengan pencahayaan lampu kuning terang. Sukses menghadirkan suasana tenang dan hangat.
Sederet dengan gebyok, ada lukisan karya Affandi. Lukisan itu berjudul Kwan Kong: The Legendary General tahun 1965. Media yang digunakan kanvas berukuran 151 x 100,5 sentimeter. Menggunakan cat minyak.
Menurut Pak Oei, lukisan ini tidak pernah berpindah. Lukisan ini sebagai penjaga museum. Bahkan tak pernah dipinjamkan meski untuk kepentingan pameran tingkat internasional. “Wah kalau ini (lukisan, Red), museumnya bubar hahaha,” kelakar Pak Oei.
Di museum inilah, pengunjung bisa belajar perjalanan seni rupa di Indonesia, dari masa ke masa. Karena konsentrasi koleksi Pak Oei dari seniman se-Nusantara. Ia telah mengoleksi lebih dari 2.000 karya. Terdiri dari lukisan, patung, dan instalasi.
Ribuan karya itu dikumpulkan dari banyak seniman dengan berbagai aliran. Koleksi tertua di Museum OHD ini adalah karya pelukis modern pertama di Indonesia, Raden Saleh Sjarif Boestaman judulnya Portrait of R.A Muning Kasari dilukis pada 1864. Kata Pak Oei, R.A Muningkasari ini adik dari pujangga Ronggowarsito dari Surakarta.
Lalu koleksi dari pelukis naturalistik di era Mooi Indie, seperti Wakidi, Abdullah Suriosubroto, dan Pirngadie, juga Affandi. Karya-karya perupa dari generasi muda pun mudah dijumpai di museum ini. Mempertimbangkan koleksi yang komprehensif, Museum OHD mengusung konsep seni rupa modern dan kontemporer. Sebagian karya di simpan di museum ini. Pak Oei berhasil membangun museum kelas dunia. Wisatawan mancanegara kerap berkunjung kemari. Daya tarik Museum OHD adalah dari koleksinya yang komprehensif dan historis. Disimpan di tiga lokasi berbeda.
Pertama, di Museum OHD (Private). Kedua, Museum OHD di Jalan Jenggala. Museum kedua ini dibuka untuk umum dan kalangan pelajar. Ketiga adalah Museum OHD Tidar Heritage. Museum terakhir berlokasi di Jalan Tidar. Belum diresmikan untuk umum.
Rasanya plong. Diizinkan berkunjung, diterima, di sela kesibukannya. Tak terasa, sudah sore hari. Kami pamit pulang. Melewati ruang tamunya lagi. Melihat patung payudara lagi. Direktur RADARSEMARANG.COM Baehaqi bahkan gagal mencoba tantangan dari Pak Oei. Menyentuh dua puting sekaligus.
Meski sudah merentangkan kedua tangan dan mengulur otot-otot tangan, tetap tak bisa. “Wah, bagaimana ini dok? Kok susah ya, hahaha,” ucapnya sambil mengganti-ganti posisi tangan, agar dapat meraihnya.
“Kalau gagal, berarti diragukan dalam hal menaklukkan perempuan, hahaha,” timpal Andreas meledek Baehaqi. Andreas adalah seniman yang datang di hari yang sama. Dia seorang sinemator. Datang dari Jakarta mengajak anak, istri, dan perupa muda Talitha Maranila. Bahkan selama di museum, Andreas juga menjadikan aktivitas Pak Oei dan Baehaqi sebagai objek video. Mantap!
Tapi, tentu saja penempatan patung payudara di ruang tamu itu punya cerita. Di negara barat, dalam sebuah pertemuan, tamu-tamu undangan tampak bergembira ketika disambut oleh wanita-wanita berpayudara besar. Tentu saja, pembaca boleh setuju, boleh tidak. He he he. (put/rfk/lis/ton)