RADARSEMARANG.COM, Magelang – Sore, 21 April, suasana tak biasa begitu terasa di Ponpes Selamat (Sekolah Alam dan Kemanusiaan Terbuka). Para santri berdiri berjejer menjadi tiga baris, di tepi kolam ikan. Mereka memperingati Hari Kartini.
Satu baris di depan, dua baris melengkapi sayap kanan, dan kiri. Barisan depan itu diisi sembilan santri. Mereka mengenakan jilbab segi empat bernuansa hijau. Berpakaian putih, mengenakan rok bermotif. Memegang kertas bertuliskan surat-surat RA Kartini. Di belakangnya, para santri memakai jilbab berwarna merah. Lengkap dengan masker merah putih melambangkan warna bendera Indonesia.
Lalu, santri laki-laki mulai menabuh gamelan. Mengiringi pembacaan sembilan surat itu. Surat pertama yang ditulis Kartini di Jepara, 25 Mei 1899 kepada Nona Zeehandelaar. Sampai surat terakhir yang ditulisnya di Rembang, 7 September 1904 ditujukan untuk Nyonya Abendanon.
Surat itu dibaca lantang. Di tepi kolam ikan yang berada di halaman ponpes. Mereka menjiwai. Meresapi. Mereka mengaku terinspirasi.
Salah satu santri, Ana Lailatul Nafazah, 20, menggebu ingin seperti Kartini. Bagi dia, Kartini sosok perempuan tangguh. Tidak memikirkan kepentingan diri sendiri.
“Saya termotivasi ingin sepertinya,” kata gadis yang disapa Lala itu.
Menurutnya, hal itu tidak mustahil meski dirinya anak pondok. Ia ingin memperdalam Islam, dan mempraktikkan ilmunya. Lalu ia sebarluaskan kepada perempuan lain. Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian. Tidak ada kekerasan di dalamnya.
“Saya ingin membangkitkan semangat, bahwa perempuan zaman sekarang tidak boleh hanya berilmu umum. Tapi harus mengerti soal agama, agar hidupnya selamat dunia, dan akhirat,” tegasnya dalam acara bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang yang berkolaborasi dengan Padepokan Gunung Tidar.
Ketua Padepokan Gunung Tidar ES Wibowo berharap, cita-cita Kartini ini menitis kepada para santri. Menurutnya, sembilan surat yang dibacakan itu menunjukkan sosok Kartini yang religius. Juga seorang sastrawan besar. Kata dia, Kartini menulis surat pertama di usia 20 tahun.
“Surat itu menggambarkan bagaimana pada waktu itu Kartini bisa menulis surat sedahsyat itu, dengan prosa, dan gaya bahasanya. Bahkan ada prosa yang digabungkan dengan syair,” beber penyair Kota Magelang itu.
Para santri mengakhiri acara ini dengan menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini ciptaan WR Supratman. Mereka lalu berbuka bersama dengan para anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Magelang. (put/lis)