29.4 C
Semarang
Friday, 10 October 2025

Syawalan di Bukit Jabal, Kaliwungu Selatan, Penghormatan kepada Kiai Guru dalam Syiar Islam

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Syawalan menjadi tradisi rutin setiap tahun di Bukit Jabal, Desa Protomulyo, Kecamatan Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal. Tradisi ini digelar seminggu setelah Lebaran. Ribuan warga dari berbagai daerah datang meramaikan tradisi ini untuk mendapatkan berkah.

DEVI KHOFIFATUR RIZQI, Kendal

JUMAT (28/4) sore, ribuan warga dari berbagai daerah memadati kompleks Bukit Jabal di Desa Protomulyo. Mereka hendak mengikuti tradisi Syawalan di kompleks Makam Kiai Asy’ari, salah satu waliyullah.

Saat memasuki kompleks Bukit Jabal, warga sudah disambut dengan hiruk pikuk pedagang kaki lima di kanan kiri jalan.

Para pedagang juga ingin mendapatkan berkah tradisi Syawalan. Tampak Sekda Kendal Sugiono juga ikut berziarah dan meramaikan tradisi Syawalan di Makam Kiai Asy’ari atau Kiai Guru.

Menurut Sugiono, tradisi ini menjadi momentum untuk meningkatkan amal ibadah dan menambah nilai keagamaan.

Karena itu, tradisi ini harus dilestarikan sebagai bentuk penghargaan kepada ulama yang telah mensyiarkan agama Islam di wilayah Kaliwungu dan Kendal.

“Ini kita jadikan momentum untuk meningkatkan amal ibadah dan menambah nilai keagamaan. Jangan sampai tradisi ini luntur. Namun harus sesuai dengan tujuan awalnya,” ujarnya usai membuka tradisi Syawalan tahun 1444 Hijriyah.

Tak hanya itu, Sekda juga mengingatkan untuk menjalin kerja sama dan kebersamaan semua pihak. Hal itu dalam menjaga keamanan dan ketertiban kegiatan syawalan ini. Dengan demikian, tradisi ini dapat berjalan kondusif, khusyuk dan benar-benar bisa bermakna.

Selain itu, Sekda juga mengajak warga yang meramaikan tradisi ini untuk senantiasa meneladani dan semangat meneruskan perjuangan Kiai Asy’ari.

“Supaya kita menjadi masyarakat yang santun, beradap, dan masyarakat yang tetap saling menghormati satu dengan yang lainnya” tambah Sugiono.

Syawalan ini menjadi salah satu tradisi dan budaya Islam Jawa yang masih terpelihara hingga saat ini.

Adapun pelaksanaan tradisi ini adalah bentuk penghormatan kepada para aulia atau ulama dengan menziarahi makam-makamnya. Sekaligus menjadi bentuk penghormatan terhadap orang-orang saleh yang telah wafat di wilayah Kaliwungu.

“Tradisi tahunan ini memperingati wafatnya ulama, serta wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa, haul ini diadakan seminggu setelah hari raya Idul Fitri yang biasa disebut Bodo Kupat,” jelas Sugiono

Pengurus Yayasan Masjid Besar Al Muttaqin Kaliwungu KH Asroi Tohir mengatakan, syawalan adalah haul KH Asy’ari atau Kiai Guru. Pihak Masjid Al Muttaqin berupaya memberikan fasilitas terbaik bagi jamaah dan warga luar daerah yang turut datang ke kompleks Bukit Jabal.

“Semoga haul tahun depan bisa kembali hadir. Karena ini adalah nguri-uri tradisi yang baik dalam rangka memperkokoh kekuatan iman dengan memperingati para auliya,” tuturnya.

Pimpinan Pondok Pesantren APIK Kaliwungu KH Muhammad Sholahudin Humaidullah menjabarkan, yang paling tua dalam penyebaran agama Islam di Kaliwungu adalah Sunan Katong. Lalu disusul Pangeran Juminah.

“Kalau Kiai Asy’ari setelah Sunan Katong dan Pangeran Juminah. Beliau adalah ulama besar yang menyebarkan Islam di Kaliwungu,” jelasnya.

Kiai Asy’ari yang juga dikenal sebagai Kiai Guru mulai menyebarkan agama Islam di Kaliwungu Kendal dan sekitarnya pada 1781 Masehi. Sementara Sunan Katong menyebarkan agama Islam pada 1400-an. Kiai Asy’ari merupakan ulama besar yang kharismatik di daerah Kaliwungu. Adapun kepopulerannya disebabkan metode dakwah yang unik, menarik, dan kontroversial.

Selain itu, kemampuannya mengajak masyarakat yang mulanya primitif dan awam terhadap masalah keagamaan, terutama ajaran Islam, menjadi masyarakat yang agamis dan religius.

Kepribadian beliau yang sederhana dan kharismatik sangat disegani oleh masyarakat, sehingga namanya selalu dikenang hingga sekarang. Perjuangan dakwahnya sudah semestinya diteladani, diteruskan dan ditumbuhkembangkan.

“Kiai Asy’ari sendiri dilahirkan di Wanantara Yogyakarta tahun 1746 dengan nama yang cukup singkat, yaitu Asy’ari bin Abdurrahman bin Ibrahim,” kata Sholahudin.

Ia menambahkan, Kiai Asy’ari dibesarkan dan hidup pada masa kerajaan Mataram Islam. Sejak kecil ia mendapatkan didikan yang cukup keras di ndalem Keraton Ngayogyakarta. Itu dilakukan dengan harapan kelak bisa meneruskan perjuangan dakwah Islam seperti yang dilakukan para waliyullah, auliya dan para syuhada.

Saat itu, Kiai Asy’ari ke Kaliwungu sebagai pendatang. Dan merupakan utusan dari raja pada Zaman Kerajaan Mataram Islam. Kemudian menetap dan melakukan dakwah di Kaliwungu. Dakwahnya juga unik seperti Walisongo, yakni menggunakan metode pendekatan budaya masyarakat. Sehingga mampu mengajak masyarakat Kaliwungu kala itu untuk masuk dan memperdalam agama Islam

“Dulu beliau bermukim dan menetap di Kampung Pesantren. Karena daerah tersebut menjadi pertama kali adanya budaya santri yang diajarkan oleh Kiai Guru. Kiai Asy’ari juga selalu menggunakan musala sebagai tempat untuk belajar dan menuntut ilmu agama Islam bagi para santri,” jelasnya.

Meski begitu, Kiai Asy’ari dikenal masyarakat Kendal khususnya Kaliwungu sebagai pendiri pertama Masjid Agung Kaliwungu atau Masjid Al-Muttaqin. KH Asy’ari juga dijuluki Kiai Guru karena beliau sebagai wali yang dipenuhi dengan Ilmu.

“Jadi beliau adalah gurunya para guru. Makanya disebut Kiai Guru,” tandasnya. (*/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya