Bagaimana jika melihat baju terkena lumpur? Semua orang pasti akan bergegas membersihkannya. Namun kali ini beda. Lumpur yang kotor berhasil disulap menjadi bahan pewarnaan batik, sehingga menambah nilai jual yang tinggi.
DEWI AKMALAH
Kendal, RADARSEMARANG.COM
TIDAK ada yang spesial dari rumah produksi Batik Widji di Dusun Karangturi, Desa Lanji, Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal. Berbagai alat pembatik seperti canting, tungku pemanas, cetakan dan masih banyak lainnya tertata rapi disana. Ada pula plastik hitam berisi bongkahan lilin dan tiga karung kulit kayu secang tergeletak di sudut ruangan. Tak lama muncullah sang pemilik rumah yang memyambut RADARSEMARANG.COM dengan senyum hangatnya.
Widji Astuti namanya. Setelah sedikit beramah tamah, dirinya segera menjelaskan mengenai produk batiknya. Dirinya mengaku batik alamlah yang menjadi andalan produknya. Berbagai batik dari pewarnaan alami seperti daun mangga, daun kersen, kayu secang, kayu tinggi, kulit mahoni dan daun jati menghiasi galeri rumahnya. Namun yang menarik perhatian adalah batik berwarna kecoklatan bermotif daun kendal dengan tulisan batik lumpur di atasnya.
Ya lumpur. Lumpur kotor yang biasanya berusaha dibersihkan ketika mencuci, justru dimanfaatkan sebagai bahan pewarnaan batiknya. Dirinya mengaku terinspirasi setelah melihat sang ibu kembali dari sawah dengan baluran lumpur yang ada di pakaiannya.
“Kebetulan ibu menggunakan baju putih. Jadi kelihatan jelas nodanya. Setelah baju dicuci, warnanya tetap saja coklat. Dari situlah saya mendapat ide menggunakan lumpur dalam proses pewarnaan batik saya. Alhamdulillah, berhasil dan sampai saat ini saya masih menggunakan lumpur sebagai bahan pewarnaan batik saya,” ujar wanita berhijab ini.
Lumpur yang digunakan pun tidak sembarangan. Dirinya hanya menggunakan lumpur hasil gundukan yuyu (kepiting kecil sawah). Hal itu karena lumpur hasil gundukan yuyu adalah lumpur dalam yang lembut, bagus dan memberikan warna coklat yang kuat. Kemudian lumpur tersebut akan direbus selama satu hari sebelum digunakan untuk mencelup batik tersebut.
“Setelah di-canting pola batiknya, kemudian saya mencelupnya ke lumpur yang telah direbus. Kemudian dijemur hingga kering. Prosesnya harus diulangi 10-15 kali agar warna yang terserap dapat maksimal. Untuk waktu sendiri, mulai dari membuat pola sampai batik jadi membutuhkan waktu 3 hari. Kalau untuk batik tulis bisa sampai sebulan,” lanjutnya.
Dirinya mengaku batik lumpur memang lebih mahal dari batik sintetis. Jika biasanya batik sintetis dihargai Rp 150 ribu per 2×1 meter, batik lumpur dapat dihargai pada kisaran Rp 250-500 ribu untuk ukuran yang sama. Sebab pengerjaan dan bahan bakunya lebih sulit didapat daripada pewarnaan menggunakan pewarna sintetis. Selain itu, warnanya memang lebih kusam daripada batik lainnya yang memiliki warna mentereng. Namun ia menuturkan justru orang luar negeri lebih tertarik dengan batik berbahan alami daripada sintetis.
“Kemarin ada bule yang beli batik lumpur saya. Dia mengaku kagum bagaimana bisa membuat batik dari lumpur. Selain itu, Bu Mirna Annisa, Bupati Kendal juga sempat datang dan melihat batik lumpur saya. Dia meminta saya membuatkan beliau batik lumpur dengan motif Kendal Pesona Pantura,” ujarnya dengan menunjukkan pigura foto ketika sang bupati mengunjunginya.
Dirinya juga telah memulai mengajukan brand untuk batik miliknya tersebut. Agar hasil ciptaannya terlindungi dan menjadi ciri khas dari Kabupaten Kendal. Dengan mengusung brand WIDJI yang berarti Wanita Ingin Maju Jadi dalam Usaha Jadi Sukses Impiannya. Dirinya ingin agar usahanya dapat meraih kesuksesan seperti yang ia impikan dan dapat bermanfaat bagi orang lain.
“Semoga saja pemerintah menaruh perhatian kepada industri kecil seperti kami sehingga membantu mempromosikan produk kami di pameran atau lainnya. Sehingga UMKM kecil semacam kami, dapat berkembang dan bersaing dalam bisnis yang sehat dan mampu membanggakan Jateng, khususnya Kendal,” pungkasnya. (*/ida)