RADARSEMARANG.COM, Kajen – Medan jalan yang sulit membuat Any Sulistyaningsih terlambat. Sampai lokasi bayi lahir duluan. Tapi plasenta tak bisa terlepas. Any berjibaku memberikan pertolongan. Peristiwa itu tak bisa ia lupakan.
Bayangan peristiwa itu masih mengendap di benak Any. Meski telah berlalu puluhan tahun silam. Itulah saat ia kali pertama bertugas sebagai bidan desa di wilayah Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan pada 1993.
Desa Gumelem, tempat Any bertugas, saat ini sudah jauh lebih baik. Tahun 1993, kata dia, listrik belum masuk ke wilayah itu. Jalannya naik-turun, bertebing, dan berbatu. Belum ada yang beraspal.
Ditempatkan di wilayah tersebut, lanjut Any, merupakan momok bagi para bidan baru kala itu. Boleh dibilang mendapat tugas di sana adalah mimpi buruk.
“Sampai ada anggapan, Petungkriyono itu wilayah buangan,” kata wanita yang kini menjadi Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Kabupaten Pekalongan ini kepada RADARSEMARANG.COM.
Terlambatnya Any membantu persalinan seorang ibu hamil itu jadi monumen dalam ingatannya. Saking tak bisa ia lupakan, Any masih ingat betul berapa tekanan darah si ibu. “Ingat banget saya. Tekanan darahnya 80/60. Rendah,” ucapnya.
Ia mengakui merasa bersalah karena terlambat. Tapi saat itu tak ada yang menyalahkannya. Sebab, orang-orang memaklumi. Medan ke lokasi memang ekstrem.