RADARSEMARANG.COM, KAJEN– Ribuan warga memadati sekitar Kantor Kecamatan Kedungwuni di Jalan Widya Manggala, Minggu (25/8) kemarin. Mereka tampak antusias menanti momen spesial Hari Jadi Kabupaten Pekalongan ke-397. Prosesi kirab budaya tersebut mampu menyedot perhatian masyarakat Kabupaten Pekalongan. Tidak hanya di sekitar Kantor Kecamatan Kedungwuni saja. Masyarakat yang menyaksikan kirab kereta kuda yang membawa para pejabat juga berjajar di kanan-kiri jalan hingga ke lokasi finish di Pendopo Kabupaten Pekalongan di Kajen.
Di Kecamatan Kedungwuni, baru kali pertama ada kirab semeriah kemarin. Biasanya, kirab Hari Jadi Kabupaten Pekalongan dilaksanakan dari Kecamatan Kesesi ke Kajen. Namun tahun ini digelar dengan rute berbeda.
Sebelum kirab dilaksanakan, Bupati Pekalongan Asip Kholbihi lebih dahulu berziarah ke makam Ki Ageng Cempaluk pada Sabtu (24/8) malam. Ki Ageng Cempluk adalah tokoh masyarakat yang juga pendiri Kabupaten Pekalongan. Menjelang kirab budaya, rangkaian prosesi sakral dilakukan. Di antaranya, penyerahan berbagai pusaka dan bibit pohon asam yang ditanam di Lapangan Kecamatan Kedungwuni. Prosesi lainnya adalah penyerahan Mapanji Cempaluk dari sesepuh setempat.
Selanjutnya, Mapanji Cempaluk dan uba rampe-nya dibawa dengan kereta pataka menuju Pendopo Kabupaten Pekalongan. Di depan kereta pataka, ada sosok senopati yang membawa bendera merah putih menaiki kuda yang gagah. Sedangkan di belakang beriringan kereta kuda yang dinaiki bupati, lalu kereta wakil bupati, Ketua DPRD, jajaran Forkompinda, hingga para camat. Total ada 20 kereta kuda yang ikut dalam kirab budaya tersebut.
Rute kirab budaya dimulai dari Kantor Kecamatan Kedungwuni, menuju Wonopringgo, Karanganyar, Kulu, Pasar Kajen, Sibedug, dan finish di Rumah Dinas Pendopo Kabupaten Pekalongan di Kajen. Jarak tempuhnya kurang lebih 13 km.
Panitia Kirab Budaya Mapanji Cempaluk Agus Sulistiyo mengatakan, pada tahun ini, tema yang diambil dalam kirab adalah “Wahyu Tumurun”. Menurutnya, tema tersebut berkaitan dengan adanya pemilihan lurah dan kepala desa serentak di Kabupaten Pekalongan yang akan digelar pada November mendatang.
“Adapun uba rampe Wahyu Tumurun terdiri atas makhutho atau simbol kepemimpinan, kukila atau simbol kemampuan menyampaikan pesan dengan cerdas dan amanah, kusuma atau simbol keharuman dan keindahan sebagai kusuma bangsa, serta uwi atau simbol produktivitas berupa hasil bumi yang melimpah,” jelasnya.
Dengan tema tersebut, diharapkan pemimpin desa yang terpilih nanti dapat sukses, amanah, produktif, dan cerdas yang dapat membawa nama baik Kabupaten Pekalongan.
Agus menambahkan, Mapanji Cempaluk sendiri berasal dari kata Lima Panji Cempaluk, yang terdiri atas Bibit Pohon Asem yang di Pekalongan buah Asem disebut dengan Cempaluk, kemudian Air Kendi yang zaman dahulu masyarakat desa punya tradisi menyediakan air kendi di halaman rumahnya. Ketiga, lanjut dia, Tongkat Kayu Galih Asem. Galih Asem merupakan bagian dari inti atau hatinya batang pohon asem.
“Yang keempat bendara merah putih dan bendera gula kelapa yang sudah memiliki sejarah panjang sebagai bendera kerajaan-kerajaan besar di nusantara, berikutnya menjadi bendera Negara Republik Indonesia. Dan yang terakhir adalah Pataka Kabupaten Pekalongan yakni bendera Pemerintah Kabupaten Pekalongan,” katanya.
Bupati Pekalongan Asip Kholbihi berharap dengan adanya kirab budaya tersebut Kabupaten Pekalongan bisa diberi kemakmuran, keamanan, dan ketenteraman. “Selain itu, kirab juga ingin membangun karakter masyarakat yang berbudaya. Juga yang paling penting adalah pemimpin-pemimpinnya mudah-mudahan amanah selalu, serta semakin melayani kepada masyarakat dengan baik,” harapnya. (alf/aro)