RADARSEMARANG.COM, Demak – DPRD Kabupaten Demak mengusukan tiga raperda sekaligus. Yaitu, raperda kredit usaha rakyat (KUR), pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2), serta pajak restoran.
Ketua DPRD Demak, H Fahrudin Bisri Slamet (FBS) menyampaikan, program KUR pada dasarnya adalah program yang diselenggarakan pemerintah. Adapun, secara teknis pelaksanaannya ditetapkan Menko Perekonomian selaku ketua kebijakan pembiayaa bagi UMKM.
Sesuai dengan ketentuan Permenko Perkonomian Nomor 8 Tahun 2019 tentang pedomana pelaksanaan KUR telah diatur rinci dan teknis terkait pelaksanaan KUR. “Dan, belum ditemukan ketentuan KUR harus diatur dalam perda,” ujarnya saat membacakan jawaban DPRD Demak atas pandangan umum bupati terhadap tiga raperda usulan DPRD dalam rapat paripurna.
Karena itu, kata Slamet, substansi yang disusun dalam raperda akan dipertajam lebih lanjut dalam pembahasan pansus. Meski demikian, raperda itu perlu ada kepastian hukum terhadap KUR. Sebab, Kabupaten Demak punya BPR dan Bank Jateng yang suatu saat dapat melakukan KUR bersumber dari APBD.
“Sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan di atasnya, hal ini perlu ditetakan dan dibahas lebih lanjut,” katanya.
Terkait dengan raperda PBB-P2 dan perolehan hak atas tanah bangunan dalam sambutan bupati sebelumnya disebutkan. Bahwa besaran nilai jual objek pajak (NJOP) sesuai ketentuan pasal 7 ayat2 dapat diubah dan disempurnakan menjadi besarnya NJOP ditetapkan paling lama tiap 5 tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan tiap tahun dengan perkembangan wilayahnya.
Menurutnya, ketentuan pasal 7 itu tidak perlu diubah menjadi 5 tahun karena bertentangan dengan pasal 79 ayat 2 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. “Disebutkan besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 tahun, kecuali objek pajak tertentu dapat ditetapkan tiap satu tahun,” ujarnya.
Selebihnya, dalam ketentuan pasal 13 ayat 2 huruf a, terkait dengan nilai perolehan objek pajak dalam hal jual beli adalah harga transaksi. “Kami usulkan agar ditambahkan dan diubah menjadi nilai perolehan objek pajak dalam jual beli tahun berjalan adalah harga transaksi,” katanya. Selain itu, nilai perolehan objek pajak dalam jual beli tahun lalu atau lama adalah nilai pasar.
Kemudian, besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling rendah Rp 60 juta untuk setiap wajib pajak. Untuk raperda pajak restoran, kata Slamet, bahwa pengenaan tarif pajak tersebut ditetapkan sebesar 10 persen dari jumlah pelayanan penjualan makanan dan minuman yang dikonsumsi pembeli dinilai relevan dengan aspek sosiologis dan yuridis perundangan yang ada.
Dengan memperhatikan pandemi Covid-19 dan untuk memberikan stimulus ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha, pihaknya mengusulkan, dalam kondisi terjadi bencana alam maupun non alam yang ditetapkan pejabat berwenang, maka tarif pajak restoran ditetapkan 5 persen dari jumlah pelayanan penjualan makanan minuman yang dikonsumsi pembeli. (hib/adv/zal)