28 C
Semarang
Monday, 16 June 2025

Pernah Jadi Pembantu di Warung Tengkleng, Begini Perjalanan Hidup Sumiyatun, Ibu yang Dipolisikan Anaknya

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Kondisi psikologis Sumiyatun, 36, kini berangsur pulih pasca terbebas dari tuntutan pidana terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilaporkan putrinya.  Kasus perseteruan ibu-anak ini berakhir happy ending dengan restorative justice atau pemulihan hubungan baik antara pelapor dan terlapor di Kejaksaan Negeri (Kejari) Demak beberapa waktu lalu.

Rumah dua lantai bercat kuning itu cukup megah. Di Desa Banjarsari RT 4 RW 4, Kecamatan Sayung, Demak, rumah tersebut cukup menonjol. Kanan kiri rumah lahan kosong. Masih hijau. Di depannya jalan bercor beton.

Ya, itulah rumah Sumiyatun, yang kisahnya sempat viral lantaran dipolisikan anak kandungnya, Agesti Ayu Wulandari, 19. Perseteruan ibu dan anak itu juga menjadi pemberitaan nasional. Namun kini keduanya sudah saling memaafkan. Agesti telah mencabut laporannya di polisi.

Sejak menghadapi kasus tersebut, Sumiyatun mengaku tertekan jiwanya. “Tentu, cukup menguras tenaga dan pikiran. Jadi, beban mental. Tiap hari saya nangis. Saya kaget berhadapan dengan anak sendiri. Meskipun mencoba tegar saat berada di luar. Itu semua sudah berlalu. Sekarang sudah baik-baik semua,”ungkap Sumiyatun saat ditemui RADARSEMARANG.COM di rumahnya, Minggu (17/1/2021).

Menurutnya, sejak berdamai di Kejaksaan Negeri Demak, Agesti sempat mampir ke rumahnya sebentar lalu melanjutkan perjalanan balik ke Jakarta.

Meski demikian, hingga kini Sumiyatun tiap hari terus berupaya menyapa anak pertamanya tersebut melalui WhatsApp (WA).

“Saya tanyain kabarnya. Dia beritahu lagi ujian semesteran. Dia minta didoakan. Saya doakan dia agar sukses,” katanya.

Menurutnya, sebagai ibu, hubungan baik dengan anaknya tersebut terus dijalankan layaknya seorang ibu dan anak.

Selain menghadapi kasus KDRT, Sumiyatun  juga fokus menghadapi gugatan perceraian yang ia ajukan sendiri maupun gugatan perceraian yang diajukan suaminya, Khoirurahman alias Oscar. “Awalnya saya yang mengajukan rapa’ (gugatan cerai, Red). Saya ajukan sekitar bulan April 2020 atau habis Idul Fitri. Tapi, karena ada ketidaksinkronan nama saya, sehingga suami saya yang mengajukan gugat cerai sekitar bulan Agustus,” bebernya.

Sidang cerai di Pengadilan Agama (PA) Demak pun telah diputuskan.  Suami istri ini akhirnya pisah. “Setelah menghadapi itu semua, saat ini saya tidak ada kegiatan. Di rumah dulu. Istirahat. Belum ada aktivitas. Ini masa transisi bagi saya dan keluarga. Mungkin, minggu depan saya baru kerja lagi,” kata perempuan kelahiran Demak, 24 April 1984 ini.

Sebelumnya, di tengah menghadapi konflik keluarga, ia masih berjualan pakaian  di Pasar Bintoro. Namun, sejak menghadapi kasus KDRT, aktivitas jualan cukup terganggu. Sehingga sementara ditutup.

“Sebenarnya sudah empat tahun terakhir hubungan saya dengan suami tidak harmonis. Banyak perselisihan. Saya mencoba untuk mempertahankan bahtera rumah tangga saya sekuat tenaga. Tapi, dalam perkembangannya memang sudah tidak bisa dipertahankan lagi, yang kemudian berakhir dengan perceraian,” ceritanya.

Sumiyatun mengungkapkan, dirinya menjalani kehidupan berumah tangga selama 20 tahun terakhir mengalir begitu saja. Ia menikah di usia 17 tahun.  Ketika itu, ia lulus Madrasah Tsanawiyah (MTs) Darul Taqwa Tembalang, Semarang. Setelah itu, baru masuk kelas 1 Madrasah Aliyah (MA) Fathul Huda, Sidorejo, Sayung.

“Saya menikah tahun 2001. Saat itu, baru sebulan kenal beliau (Khoirurahman) dan langsung dinikahi. Tidak ada pacaran. Kalau saya menyebutnya ya  istilahnya cinta monyet. Ternyata menikah sungguhan. Kebetulan saat itu suami sudah bekerja di Pengapon, Semarang,” kenangnya.

Setelah menikah itu, Sumiyatun menikmati awal-awal berumahtangga hingga beberapa tahun.  “Saya dulu, ibu rumah tangga tulen lho,”katanya sambil tersenyum.

Seiring perjalanan, biduk rumah tangga Sumiyatun mengalami dinamika. Saat mengandung anak pertama, Agesti Ayu Wulandari, cobaan hidup dalam rumah tangga bersama suaminya mulai muncul. Meski demikian, hal itu tidak bisa diceritakan.

Karena kondisi ekonomi keluarganya yang kurang baik, pada 2005, ia bertekad untuk membantu pemasukan ekonomi keluarga. Ia sempat membuka toko sembako cukup besar di rumah orang tuanya sebelum yang dibangun sekarang.

“Dagang sembako ini saya lakukan dengan harapan ekonomi keluarga bisa bertahan,”imbuh dia mengingat perjuangannya dalam berumah tangga bersama Khoirurahman.

Meski demikian, mendirikan toko sembako tersebut tidak bertahan lama. Hanya dua tahun.  Ini karena terganggu dengan cobaan hidup dalam rumah tangganya yang berulang.

“Cobaan berikutnya saat usia anak saya yang pertama itu menginjak empat tahun. Saya merasakan betul-betul nelongso,” katanya.

Pada 2009, Sumiyatun sempat menjadi pembantu orang jualan di warung makan.  “Saya setahun kerja sebagai pembantu di warung tengkleng dekat Terminal Demak. Ini saya lakukan juga untuk menambah ekonomi keluarga,” ujarnya.

Pada 2010, suaminya pindah kerja di Jakarta. Ia masih ingat, bekal ke Jakarta itu, harus menjual sepeda motor satu-satunya. “Saya jual motor Mega Pro buat modal kerja di Jakarta. Akhirnya, dalam perkembangannya, suami saya bisa sukses hingga sekarang ini,”kata dia.

Pada 2014, Sumiyatun bisa sewa kios selama lima tahun di Pasar Bintoro, Kota Demak. Uang sewanya Rp 3 juta per kios per tahun.  Waktu itu, ia merintis jualan pakaian seperti gamis dan busana muslim lainnya. Namun, baru berjalan dua tahun, ia dibelikan empat kios sekaligus oleh suaminya dengan harga Rp 250 juta. Akhirnya, sisa kontrak kios yang  tiga tahun dioperkan ke orang lain seizin pemilik kios.

“Karena sudah dibelikan kios oleh suami, saya tidak ngontrak lagi. Saya jualan underwear atau segala perlengkapan jeroan atau daleman pakaian wanita seperti BH. Semua tersedia, termasuk barang impor,” beber Sumiyatun.

Meski telah dibelikan kios oleh suami, untuk mengisi barang-barang  yang dijual di kios ia penuhi sendiri. Modal awal saat itu sekitar Rp 100 juta. Lalu, bisa berkembang hingga sekarang. Modal usaha terus berputar dan berkembang.  “Kalau kios memang dibelikan suami. Tapi, isi kios saya sendiri yang mengisi,”katanya.

Sebelum ada konflik itu, ia dan suaminya sudah sempat daftar ibadah haji berdua. “Kita kan daftar haji pada 2014 yang lalu. Perkiraan pergi hajinya 2028. Yang membuat saya gak kepikiran adalah nomor haji atau kursi di pesawat tidak urut. Padahal, suami istri. Mungkin ini juga ada hikmahnya juga. Kita sudah bercerai,” ujarnya.

Sumiyatun menyampaikan, apa yang dialami selama berumahtangga dengan suaminya menjadi pelajaran berharga baginya. Konflik rumah tangga tersebut menyita perhatian publik.

“Saya sebenarnya malu dengan kejadian seperti ini. Ini masalah rumah tangga. Tapi, Alhamdulillah, semua ada hikmahnya. Pitulung Gusti Allah.  Banyak yang menolong saya. Saya tidak cari pembenaran. Yang saya rasakan banyak kejadian yang di luar kebiasaan. Di luar akal saya dan menjadi hikmah bagi saya. Tentu, tidak semua bisa saya ungkapkan. Barangkali ini buah kesabaran saya,”katanya. (hib/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya