RADARSEMARANG.COM – Pasutri Rukani, 55, dan Pasijah, 50, sudah 10 tahun tetap bertahan sendiri di Dukuh Rejosari Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Demak. Ia hidup dikepung rob. Tak punya tetangga setelah kampungnya ditenggelamkan oleh abrasi.
Keluarga Pasijah merupakan satu-satunya yang tetap menghuni rumahnya meski kampungnya sudah dihancurkan oleh air pasang selama bertahun-tahun. Rumah tembok berukuran 6×15 meter persegi itu menjadi saksi keganasan rob dan abrasi yang mengikis wilayah pesisir Sayung. Tidak ada kehidupan lain, kecuali di rumah Pasijah.
Bangunan rumah warga lainnya termasuk masjid dan musala sudah hancur dikepung air laut. Kalaupun masih ada wujud bangunannya, di dalamnya sudah tidak ada penghuninya. Hanya hutan belantara dari rerimbunan mangrove yang tampak rimbun menghijau.
Kehidupan keluarga Pasijah seakan menggambarkan tentang kepasrahan dalam menjalani kehidupan apa adanya. Pasijah dulu hidup di tengah kampung yang menggambarkan gemah ripah loh jinawi. Banyak tetangga dan kehidupan ekonomi yang normal. Namun puluhan tahun pula, kehidupan itu telah berubah 180 derajat akibat dampak abrasi dan rob. Kini keluarga Pasijah mengambil sikap selalu hidup damai dengan alam sekitarnya. Seadanya dan apa adanya.
“Mati urip wis tak niati tetep manggon neng omah kene, Mas. Ora nduwe tonggo yo ora opo-opo. Saya tidak mau kembali ke desa asal saya di Donorejo, Karangtengah. Karena ya gak enak dengan saudara-saudara saya. Lebih baik bertahan hidup di sini saja,”ungkap Pasijah saat ditanya RADARSEMARANG.COM.

Suka dukanya, kata Pasijah, jika dulu bisa keluar masuk kampung masih ada jalannya. Sekarang, jalan desa sudah tenggelam dan terpaksa pakai perahu. Demikian pula, jika dulu bisa bersama dan saling menyapa dengan tetangga, sekarang tidak bisa. “Biasanya kalau ketemu tetangga yang dulu, langsung cipika-cipiki. Saya diambungi (diciumi),”kata Pasijah sambil tersenyum.
Menurutnya, keluarganya menyikapi hidup dengan apa adanya. “Kita coba hadapi hidup ini dengan tenang saja. Nek ono gendruwo lan liya-liyane, Alhamdulillah yo do ora ngganggu. Wis biasa urip kumpul mencawak, manuk cangak, kuntul, lan manuk liyane. Akeh manuk sing do nyusuh (buat rumah) di pohon-pohon mangrove sekitar omah kene,”imbuh Rukani, suami Pasijah.
Saat mengunjungi rumah Pasijah, koran ini naik perahu sopek milik nelayan dengan biaya Rp 100 ribu. Nelayan tersebut bersedia mengantar dan menjemput koran ini, termasuk menunggui selama wawancara dengan Pasijah.
Masuk rumah Pasijah, kepala harus agak merunduk supaya tidak terantuk palang pintu bagian atas yang relatif pendek. Sebab, rumah Pasijah beberapa kali diperbaiki atau ditinggikan agar bertahan dari terjangan air laut. Di dalam rumah hanya ada beberapa perkakas. Di antaranya, satu televisi lawas 14 inchi, Magic Com, sepeda onthel, dan satu lemari baju.
Di rumah dengan dinding yang belum diplester itu, hanya terdapat tiga kamar tidur. Juga ada satu ruang sebagai kamar tidur sekaligus tempat belajar anak-anak Pasijah. Kamar tidur yang dilapisi anyaman bambu dibuat agak tinggi posisinya agar tidak terkena rob. Untuk memasak, Pasijah membuat dapur sederhana dari tumpukan batu bata di samping rumahnya. Ranting kayu mangrove yang kering dimanfaatkan untuk kayu bakar memasak di tungku.
Pasijah menuturkan, ia tinggal di rumahnya bersama suami Rukani, dan ketiga anaknya. Yaitu, Thoeron, 22; Khodliyah, 17, dan Imron Rosyadi, 14. Sedangkan anak pertamanya, Ikhawanudin, 30, tinggal bersama keluarganya di dekat halte Buyaran, Kecamatan Karantengah, Demak.
“Saya dulu itu aslinya ya dari Desa Donorejo, Kecamatan Karangtengah. Kemudian menikah dengan Pak Rukani ini. Sejak menikah itu, saya dan keluarga bertempat tinggal di RT 3 RW 4 Dukuh Senik sini. Sampai pada akhirnya ada bencana abrasi dan rob sampai sekarang ini,”cerita Pasijah.
Sebelum ada bencana air laut yang menggerus perkampungan tersebut, Pasijah dan suaminya bekerja sebagai petani. Banyak hal yang dikerjakan di lahan pertanian.
“Dulu bertani di sini bisa menanam jagung, padi, sayur-sayuran, pohon kelapa dan lain sebagainya, seperti kampung lainnya yang kehidupannya normal. Tetapi sejak 2001, Kampung Senik ini lama-kelamaan mulai kemasukan air laut. Mulai parah kondisinya itu tahun 2005. Warga sempat unjukrasa ke Kecamatan Sayung minta direlokasi ke tempat lainnya. Baru, pada 2006, pemerintah memindahkan warga Dukuh Senik ini ke Desa Gemulak, Kecamatan Sayung. Saat itu, zaman Bupati Endang Setyaningdyah,”papar Pasijah menceritakan.
Menurutnya, jika ratusan warga dan para tetangga lainnya pada 2010 ikut kebijakan relokasi Pemkab Demak, Pasijah dan keluarganya justru sebaliknya. Ia tetap tak bergeming untuk pindah tempat.
“Saya memutuskan tetap tinggal bersama keluarga di rumah ini. Apapun yang terjadi. Alhamdulillah, sampai sekarang baik-baik saja. Untuk kehidupan memang berubah. Kalau sebelumnya kita hidup dari penghasilan bertani, maka sejak kampung kena abrasi dan rob, pekerjaan kita berubah menjadi nelayan. Pak Rukani, suami saya setiap hari melaut mencari tangkapan ikan untuk melanjutkan kehidupan. Sedangkan saya kebagian menjual ikan blanak dan lainnya hasil tangkapan suami itu untuk dijual di Pasar Sayung. Biasanya saya kalau ke pasar harus naik perahu sendiri, kemudian melanjutkan perjalanan dengan naik sepeda onthel. Sepeda onthel saya titipkan di rumah tetangga di Kampung Pandansari,”kata Pasijah.
Ia mengungkapkan, keluarganya memiliki tiga perahu kecil untuk aktivitas sehari-hari. Yang satu untuk wira-wiri ke pasar menjual ikan serta antar-jemput anaknya yang masih sekolah. Kemudian yang dua lainnya untuk kegiatan melaut.
“Anak saya yang Khodliyah masih sekolah di SMA Negeri 1 Sayung. Sedangkan Imron Rosyadi sekolah di MTs Nahdlatul Subhan Sayung. Karena itu, harus antar-jemput,”katanya.
Menurutnya, perahu-perahu miliknya itu juga berguna sekali ketika air rob naik. “Kalau air rob merendam rumah, saya dan keluarga bertahan sementara di atas perahu hingga air rob surut. Saat itupula, pintu rumah saya tutup agar barang-barang tidak hanyut. Saya duduk tengak-tenguk di perahu,”ceritanya.
Untuk hidup sehari-hari, Pasijah dan keluarganya memanfaatkan sumber air bersih dari sumur tua yang dipasang oglek Dragon. “Airnya asin. Tapi, yang asin biasanya dipermukaan. Yang asin kita buang dan tinggal air tawar. Air bersih ini kita buat masak, mandi, cuci dan minum,”kata Pasijah.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Pasijah dan keluarganya hanya mengandalkan hasil melaut. Penghasilan pun tidak pasti. Sehari kadang dapat Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu. Paling sedikit ya dapat Rp 5 ribu sampai Rp 12 ribu.
“Ikan yang saya jual, dibelikan beras dan kebutuhan lainnya, termasuk membayar listrik per bulan sebesar Rp 60 ribu. Katanya selama tiga bulan ini biaya listrik untuk daya 900 watt dapat diskon. Ternyata tidak,” kata dia.
Selain untuk hidup sehari-hari, uang dari hasil tangkapan ikan tersebut juga untuk membayar biaya sekolah anak-anaknya. “Sekarang ini anak-anak kan tinggal di rumah. Sekolah ya di rumah. Nggarap banyak pekerjaan rumah (PR) ya di rumah. Tugas online. Maka saya harus membiayai paket internet untuk kebutuhan anak saya itu. Juga untuk membiayai les melalui online. Barusan saya membayar biaya les hampir Rp 800 ribu untuk les selama tiga bulan. Saya pikir bisa setahun, tetapi hanya untuk les tiga bulan saja,”ujarnya.
Khodliyah, putri Pasijah menambahkan, kondisi tempat tinggalnya memang sangat sederhana. “Meski begini kondisinya, saya tetap semangat untuk sekolah. Saat ini, saya di rumah terus. Pembelajaran pakai online. Saya siapkan 10 GB untuk paketan tiga minggu. Buat ngerjakan PR. Biasanya sih saya ke sekolah pakai perahu dan sepeda onthel. Teman-teman tidak pernah ke rumah saya, karena takut naik perahu,”ujar anak ketiga Pasijah yang kerap menjuarai lomba saat di SMP Negeri 2 Sayung ini. (*/aro/bas)