RADARSEMARANG.COM – Bencana rob sudah menjadi langganan warga pesisir utara Demak, utamanya di wilayah Kecamatan Sayung. Warga pun harus berkejaran untuk meninggikan lantai rumah agar tidak terendam air laut pasang tersebut. Akibatnya, tak sedikit rumah warga beratap cukup rendah. Bahkan, ada juga yang semula rumah lantai II, menjadi lantai I, karena lantai bawah sudah berkali-kali diurug.
Hidup di wilayah rob memang tidak nyaman. Setiap rob datang, hampir pasti jalan terendam. Bahkan, jika rob meninggi, sampai masuk rumah. Datangnya bisa pagi, sore maupun malam. Warga yang belum biasa melihat rob dikira banjir. Padahal setiap rob datang jarang didahului hujan. Sedikit demi sedikit air meninggi, dan setelah mencapai puncaknya, air surut begitu saja. Itu bisa terjadi sampai berminggu-minggu.
Sepekan sebelum lebaran lalu, rob cukup tinggi merendam wilayah Sayung, Demak. Selain menenggelamkan sejumlah perkampungan, rob yang menurut warga termasuk parah itu juga menggenangi jalan Pantura Semarang-Demak. Bahkan, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo sampai turun tangan.
Selama rob melanda, praktis kesibukan warga banyak terfokus untuk mengurus supaya rumahnya bisa diselamatkan dari genangan air laut pasang ini. Tenaga, pikiran, maupun uang tabungan pun terkuras habis hanya untuk melawan rob yang setiap saat tiba-tiba naik menerjang permukiman warga.
“Tamu tak diundang” itu datang setiap hari dan tanpa basa-basi langsung menyapa warga yang sudah terbiasa hidup dalam suasana banjir rob. Ini seperti tergambarkan dalam cerita-cerita warga yang disampaikan kepada RADARSEMARANG.COM.
“Rob itu ibarat tamu tak diundang. Tiba-tiba datang masuk rumah lewat pintu belakang dan langsung membanjiri seisi rumah,”ungkap Istiyah, 48, warga Perumahan Raden Patah, Desa Sriwulan RT 5 RW 7 Kecamatan Sayung, Demak.
Istiyah masih ingat betul ketika rob datang tidak sempat menyelamatkan barang-barang yang ada di rumahnya. “Semua langsung basah kuyub,”ujarnya.
Ia mulai tinggal di Perumahan Pondok Raden Patah Desa Sriwulan pada 1993. Seingatnya rob agak parah terjadi pada 1998. “Waktu itu, air asin sudah masuk rumah,”katanya.
Ia juga ingat sejak ada rob itu, keluarganya sudah berupaya meninggikan rumah tiga kali. Bahkan, sekarang pintu rumahnya tinggal separo dari yang semula ketinggian 2 meter. Mirip jendela.
“Kalau sudah meninggikan rumah, tabungan saya langsung ludes. Padahal, tabungan itu untuk biaya sekolah anak-anak. Tapi habis untuk biaya peninggian rumah,”keluhnya.
Peninggian rumah juga berkejaran dengan peninggian tanggul jalan depan rumahnya. Untuk peninggian jalan biasanya dibiayai dari swadaya warga. “Jalan depan rumah saya ini sudah ditinggikan 15 kali. Biaya diambil dari iuran ibu-ibu PKK dan jimpitan warga. Semua dialokasikan untuk peninggian jalan. Rencana pasang paving tidak jadi terpaksa pakai tanah padas,”katanya.
Istiyah menambahkan, karena sering terkena rob, sebetulnya ia ingin pindah. Namun itu tidak memungkinkan. “Rencana pindah sebetulnya ada. Tapi kan butuh biaya besar. Harus beli rumah baru atau nyicil lagi. Sedangkan rumah lama jika dijual tidak laku sesuai harapan,”ujarnya.
Kalau rumah yang kena rob itu dijual, lanjut dia, hanya laku sekitar Rp 30 juta sampai Rp 35 juta saja. Untuk uang muka beli rumah baru hanya pas-pasan, belum beban nyicilnya. Mau tidak mau ya tetap menempati rumah lama ini meskipun setiap hari berjibaku dikejar rob.
“Lantai rumah seperti ini masih basah karena rob seminggu ini. Saya tutupi terpal plastik di atasnya supaya bisa ditempati,”katanya.
Menurutnya, rob datang tak terduga. Kadang sore, kadang tengah malam dan kadang subuh sudah naik lagi. Kalau sudah datang seperti itu, maka memaksa dirinya untuk mengungsi sementara hingga rob surut. “Sudah biasa tidak tidur nyenyak,”ucapnya.
Cerita serupa disampaikan Sujilan, 56, warga Desa Sriwulan RT 7 RW 7. Rata-rata rumah di kampungnya ditinggikan hingga 2,5 meter dari aslinya atau dari semula sebelum ada rob. Warga termasuk dirinya juga rata-rata sudah meninggikan rumah 4 hingga 5 kali. Meski demikian, berapa kali peninggian juga tergantung kemampuan pemilik rumah.
“Kalau tidak punya uang ya dibiarkan saja, hingga rumahnya tenggelam dan tidak bisa ditempati,”kata dia.
Banyak pula rumah yang dibiarkan kebanjiran dan tidak ditempati lagi hingga bangunan rumah rusak semua.
Dia mengatakan, biaya pembelian tanah padas untuk peninggian sekitar Rp 500 ribu. Sedangkan biaya melangsir ke dalam rumah Rp 300 ribu. Sekali mengurug bisa sampai 3 dump truk. Tanah didatangkan dari Rowosari, Tembalang, Semarang.
“Seminggu lebih rob besar melanda Sayung. Banyak kamar tidur yang diganjal agar bisa lebih tinggi posisinya,”kata Sujilan yang bekerja sebagai tukang batu.
Sujilan kemarin tampak memperbaiki dan meninggikan rumah warga setempat. Rumah berlantai dua milik almarhum Nugroho tersebut lantai bawah hanya menyisakan separo bangunan hingga terlihat sempit. Ruang parkir semula bisa untuk parkir mobil, sekarang hanya bisa untuk parkir motor. Kepala orang pun nyaris sundul karena lantai bangunan berkali-kali ditinggikan.
“Dulu sekitar tahun 1993, rob yang besar paling sekali. Tapi, sekarang rob besar sudah berkali-kali,”keluhnya.
Rob tersebut berdampak pada pola pikir warga yang seharusnya bisa menabung untuk keperluan yang lain. Namun dengan adanya rob, tabungan ludes tersedot biaya peninggian rumah dan jalan.
Ketua RT 3 RW 7 Desa Sriwulan Suyitno mengungkapkan, kampung yang dipimpinnya setiap hari juga dihadapkan pada persoalan rob yang kerap datang tiba-tiba. “Kami sudah meninggikan rumah maupun jalan berkali-kali,”katanya.
Tanggul atau jalan depan rumah yang ditinggikan dengan cor beton sudah melebihi separo rumah warga. Praktis, posisi rumah warga banyak yang lebih rendah dari jalan. Rob terjadi, kata dia, salah satunya akibat penurunan tanah. Di wilayah Sayung, utamanya di Desa Sriwulan, dalam 5 tahun terakhir penurunan tanah berkisar antara 15 sampai 20 sentimeter.
Warga pun tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali meninggikan rumah dan jalan. “Rumah saya posisi lantainya tinggal 80 sentimeter lebih tinggi dari jalan. Padahal, semula ketinggiannya 1,5 meter dari jalan. Saya sudah lima kali meninggikan rumah,”ujar dia.
Di wilayah RT 3 RW 7 dihuni 32 kepala keluarga (KK). Rumah rumah warga yang posisinya lebih tinggi dan relatif aman dari rob tinggal lima rumah. Iuran warga Rp 600 ribu setiap bulan tidak bisa mengejar pembiayan peninggian jalan di kampung tersebut. “Masih kurang. Tidak bisa untuk ngurug,”katanya.
Suyitno mengatakan, satu-satunya jalan adalah mengharapkan terwujudnya sabuk laut, termasuk dengan adanya pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak yang juga difungsikan untuk tanggul laut. “Jika tidak, ya kita hanya bisa bertahan saja. Sebab, kalau pindah biayanya lebih besar,”ujarnya.
Senada disampaikan Surono, 57, warga setempat. Rob telah membuat warga sulit untuk berbuat, kecuali meninggikan rumah. “Rumah saya sudah biasa jadi penampungan rob. Kalau rob datang, kita ngungsi dulu,”katanya.

240 KK Sudah Pindah Rumah
Bencana rob di wilayah Kecamatan Sayung, Demak hingga kini terus meluas. Di Desa Sriwulan misalnya, warga yang terdampak rob sudah mencapai seratus persen.
Kepala Desa Sriwulan Zamroni mengatakan, ada sebanyak 2.500 kepala keluarga (KK) di desanya. Semua rumah warga terkena rob. “Sudah seratus persen terdampak. Bahkan, 240 KK atau sekitar 30 persen di antaranya sudah eksodus atau pindah tempat,”kata Zamroni kepada RADARSEMARANG.COM.
Bencana rob di desa yang dipimpinnya itu, kata Zamroni, sudah berlangsung bertahun-tahun. Hamparan tambak dan bangunan rumah berubah menjadi hamparan air laut. Rumah yang tenggelam tidak bisa ditempati lagi. Meski demikian, adapula warga yang terpaksa menempati rumah mereka dengan cara terus meninggikan lantai tempat tinggalnya.
Camat Sayung Sururi menambahkan, rob merupakan bencana nasional yang dialami warga di pesisir Kecamatan Sayung dan daerah sekitarnya. Menurutnya, untuk mengatasi rob ini, pemerintah telah melakukan berbagai langkah, termasuk meninggikan tanggul jalan. “Kita juga berharap, jalan tol Semarang-Demak yang difungsikan sebagai tanggul laut nanti bisa segera dibangun,” harapnya. (hib/aro/bas)