RADARSEMARANG.COM, DEMAK-Perjuangan Syekh Ma’shum Mahfudhi saat menjalani laku hidup prihatin (riyadhah) hingga mendirikan Pondok Pesantren (Ponpes) Fathul Huda di Dukuh Karanggawang, Desa Sidorejo, Kecamatan Sayung terekam dengan jelas dalam buku baru tentang biografi Syekh Ma’shum. Buku karya M Amsar Roedi, alumnus Ponpes Fathul Huda tersebut cukup memberikan gambaran bagaimana sepakterjang Syekh Ma’shum dalam mengembangkan lembaga pendidikan kepesantrenan yang sebenarnya ketika masih hidup.
“Untuk membuat biografi beliau ini, saya mengunjungi berbagai pondok tempat beliau belajar. Selain itu, berziarah ke makam guru guru beliau. Seperti makam KH Yasin Bareng Kudus, KH Muhammadun Pondowan dan KH Muhajir Bendo Kediri,”kata Amsar. Ia menggambarkan, bahwa Kiai Ma’shum Mahfudhi merupakan sosok alim (berilmu) dengan kemuliaan akhlak selayaknya sebagai ulama besar.
Menurutnya, Kiai Ma’shum merupakan sosok muda yang mendirikan pesantren. Yang bersangkutan tidak hanya sibuk sebagai guru ngaji dan kitab, namun Kiai Ma’sum juga memimpin pengajian tarikat serta berkiprah di organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan politik. Ia pernah berkiprah di Partai NU, PPP Partai Golkar dan PKB. “Terkait dengan pondok, beliau merintis pendirian pondok itu sekitar tahun 1958 dengan kondisi yang serba terbatas,”katanya. Kiai Ma’sum menikah dengan Sayyidah, putri KH Umar dari Undaan Kidul Karanganyar Demak. Ia dikarunia 7 anak. Yaitu, KH M Zainal Arifin Ma’shum, Nyai Hj Nur Izzah Ma’shum, Ainistiqamah Ma’shum, Nyai Hj Nur Aliyah Ma’shum, KH Lutfin Najib Noor Ma’shum, Gus Muh Badrudin Ma’shum dan Gus Abdul Latif Mashum. Kini, tercatat ada 23 cucu dan 6 cicit.
Dalam buku Amsar juga disebutkan, bahwa Ponpes Fathul Huda merupakan pondok riyadhah atau tempat untuk laku prihatin. Para santri diajarkan puasa sepanjang hari. Selain itu, ada ijazah kubro. Berupa ijazah puasa Alquran, puasa dalail khairat dan puasa manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani selama 40 hari. “Disini kemudian Syekh Ma’shum sendiri dijuluki sebagai ahli riyadhah dari Karanggawang,”ujarnya. Laku prihatin sudah dijalankan Syekh Ma’shum sejak kecil hingga wafat. “Beliau selalu menyampaikan, bahwa untuk mendapatkan ilmu yang berkah, tidak cukup hanya dilalui dengan belajar saja. Riyadhah itu juga penting. Maka harus dijalani,”ujar KH Zainal Arifin putra Syekh Ma’shum dalam buku tersebut.
Ada sejumlah karya tulis atau kitab yang dikarang Syekh Ma’shum. Antara lain, Tuhfat Al Lubab. Artinya, suguhan untuk orang orang pintar. Kitab kecil ini ditulis pada hari Ahad 2 Jumadil Awwal 1380 H, bertepatan dengan tahun 1960. Kitab berisi tentang kaidah ilmu nahwu. Dalam kitab juga ditorehkan petikan wejangan (nasehat). Antara lain, nasehat agar menghormati orang berilmu, tentang hilangnya ilmu seiring hilangnya (wafatnya) ulama, terkait bahaya syirik, nasehat tentang lelaku kesabaran dan tidak mudah marah, serta nasehat agar menghidupkan saat malam dengan ibadah.
Taslim Arif, pengurus Ponpes Fathul Huda mengungkapkan, dalam buku tersebut juga terungkap, bahwa Syekh Ma’shum merupakan sosok pribadi yang tawadlu’, cinta ilmu, selalu berdoa, selalu menegur atau mengingatkan hal hal yang dianggap tidak benar serta sosok kiai yang istiqamah.
“Beliau juga pribadi yang wara’ (teliti dan hati hati) dan tidak neka neka dalam berbusana,”katanya. Syekh Ma’shum juga dikenal sebagai kiai yang piawai dalam pengobatan dan ampuh (sakti). (hib)