RADARSEMARANG.COM, Batang – Aksi pencabulan di sebuah pondok pesantren di Desa Wonosegoro, Kecamatan Bandar menambah daftar panjang kasus asusila di wilayah Kabupatan Batang. Yang mencengangkan, kasus ini pelakunya seorang oknum kiai berinisial W dengan korban santriwati mencapai 13 orang.
Kasus asusila di lingkungan pondok pesantren ini tentu menjadi perhatian khsusus Kantor Kementerian Agama Kabupaten Batang. Apalagi pelakunya adalah orang yang paham agama. Namun saat dikonfirmasi, Nur Muzayim, Humas Kantor Kemenag Batang menjelaskan jika Kemenag belum bisa menentukan sikap. Menunggu proses hukum yang sedang berlangsung.
“Kita belum bisa menentukan sikap. Nunggu sampai proses hukum dulu. Kita masih berprinsip praduga tak bersalah, dan menghormati sosok kiai,” ujarnya kepada RADARSEMARANG.COM, Kamis (6/4).
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Batang Agung Wisnu Bharata prihatin terhadap kasus pencabulan yang terus berulang. Kasus itu mulai meledak di Kabupaten Batang sejak Agustus 2022, dan beruntun terjadi hingga saat ini. Tercatat ada sekitar enam kasus besar yang mencuat setahun ini.
Karena itu, pihaknya menginginkan adanya monitoring terhadap lembaga-lembaga yang rawan pelecehan.
“Saya kurang tahu ini fenomena apa, apakah faktor arus globalisasi. Kenapa terjadi berulang-ulang, tapi yang harus kita lakukan adalah tindakan nyata. Terutama yang punya tanggung jawab adalah pemerintah, dalam hal ini di tingkat kabupaten maupun instansi yang ada. Monitor terhadap lembaga yang rawan harus ditingkatkan volumenya,” katanya.
Monitorin bisa dilakukan oleh DP3AP2KB, Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, dan instansi terkait lainnya. Pihaknya tidak menyangka, dari banyak kasus yang terjadi, pelakunya adalah seorang figur.
Kasus besar ini bermula dari pencabulan seorang guru agama di SMP Negeri 1 Gringsing terhadap muridnya. Berlanjut pada kasus perkosaan seorang ayah terhadap anaknya.
Kemudian oknum guru ngaji yang memperkosa anak berusia lima tahun, aksi sodomi terhadap puluhan anak laki-laki oleh guru ngaji di Proyonanggan Utara, perilaku mesum guru MA terhadap muridnya di Subah, dan terakhir perkara pencabulan oleh pengasuh pesantren terhadap puluhan santriwatinya di Kecamatan Bandar.
“Saya sangat prihatin sekali. Kejadian ini kok berulang-ulang. Apalagi ada indikasi dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi figur,” terangnya.
Atas banyaknya kasus yang terjadi, diibaratkan sebagai gunung es yang mencair. Saat kasus muncul akan ditindak oleh pihak berwajib. Ia berharap jika ada korban kasus pencabulan lain bisa melaporkan diri.
Menurutnya, berpikirnya seorang aparat jangan menunggu muncul kejadian. Jika ada kejadian muncul baru ditangani, dianggap sebagai kegagalan. Tindakan yang perlu dilakukan adalah mencegah aksi kekerasan seksual, apalagi contoh kasus sudah banyak terjadi.
“Kalau berulang-ulang seperti ini kan rakyat kita semakin kacau, karena dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi panutan bagi semua kepentingan yang ada. Khilaf jangan dijadikan sebagai unsur pembenar,” tegasnya.
Hingga saat ini, belum ada perkembangan informasi dari pihak kepolisian terkait kasus pencabulan oleh pengasuh ponpes. Sang pelaku diketahui berinisial W, dan korban yang melapor sudah 13 santriwati.