RADARSEMARANG.COM – Warga Desa Wonokerso, Kecamatan Limpung, Batang semula menolak pemanfaatan kotoran sapi jadi biogas. Mereka merasa kotoran yang biasa dijadikan pupuk, tidak bisa dimanfaatkan lagi untuk tanaman. Kini, justru warga ketagihan setelah merasakan manfaat biogas.
Panas terik menemani kunjungan wartawan RADARSEMARANG.COM di Desa Wonokerso, Kecamatan Limpung, Jumat (24/6) lalu. Padahal, malam sebelumnya hujan disertai angin kencang turun hampir merata di wilayah Kabupaten Batang. Sepanjang perjalanan terlihat dahan-dahan pohon patah. Daun-daun pun berserakan tersapu air di tanah.
Pukul 08.45 pagi, wartawan RADARSEMARANG.COM sampai di Kantor Desa Wonokerso. Koran ini diterima Kades Wonokerso Muhamidin, 51, bersama Surip, 42, Kadus Mraji, dan Sakhirin, 46, Kadus Kejiwan. Mereka bercerita tentang lika-liku warganya yang semula menolak biogas. Semua berubah setelah kompor biogas ada yang sudah menyala.
“Kami pakai konsep swakelola. Ini sebenarnya program dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah. Ada 10 unit bangunan untuk biogas,” ujar Muhamidin kepada RADARSEMARANG.COM.
Ukuran penampungan itu beraneka ragam, mulai dari 6 meter kubik, 8 meter kubik, 10 meter kubik, dan 20 meter. Digester terbesar bisa menyalakan 6 kompor. Sementara digester berukuran 6 meter kubik hanya bisa menyalakan 1 kompor, dan yang berukuran 8 meter kubik bisa untuk 2 kompor. Melalui konsep itu, warga yang punya kandang kecil dan besar bisa saling berbagi. Sehingga warga yang tidak punya ternak sapi bisa ikut merasakan.
Warga bisa bergantian ikut andil membersihkan kandang. Memasukkan kotoran sapi ke instalasi biogas di dekat kandang. Atau ikut menyalurkan air bersihnya untuk melebur kotoran di ruang pengaduk. Desa Wonokerso punya 25 peternak sapi. Populasi ternaknya hampir 100 ekor. Beberapa peternak punya dua ekor sapi, sementara lainnya ada yang punya hingga tujuh ekor.
Muhamidin menjelaskan, penolakan warga muncul karena mereka takut. Kotoran sapi yang biasa dimanfaatkan untuk pupuk kandang akan lenyap. Habis dimanfaatkan sebagai biogas. Pupuk itu dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman di ladang. Sementara warga lain merasa jijik memasak dengan gas dari kotoran sapi.
“Sosialisasi dilakukan untuk memahamkan warga. Sebenarnya kotoran sapi tetap bisa digunakan untuk pupuk setelah selesai di penampungan. Bahkan bisa jadi pupuk cair juga. Malah jadi dua jenis pupuk,” terangnya.
Warga yang semula keras menolak mulai luluh setelah satu penampungan biogas bisa difungsikan. Muhamidin mengajak wartawan koran ini menuju lokasi. Pertama, koran ini mendatangi kandang yang baru dilakukan penggalian di bagian belakangnya.
Diameter lubangnya 2,7 meter dengan kedalaman 2 meter. Medan berlumpur di sana cukup membuat berat alas kaki. Tak jauh dari sana ada instalasi biogas yang masih tahap pengisian kotoran.
Kubah penampungan belum menghasilkan cukup banyak gas untuk bisa menyalakan kompor. Sakhirin mencoba memutar tempat pengadukan kotoran. Sementara Surip memasukkan kotoran dan air dari kandang ke tempat pengadukan itu. “Ini berat kalau tidak dicampur air. Setelah ini, kotoran masuk ke kubah penampungan supaya gasnya keluar,” kata Sakhirin.
Selanjutnya, RADARSEMARANG.COM diajak meninjau kandang milik Ngadi, 52, warga Dukuh Mraji. Lokasinya persis di belakang rumah. Sementara penampungan biogas ada di halaman belakang. Ngadi sedang tidak berada di rumah. Di sana ada tujuh ekor sapi yang menyuplai tandon kotoran berkapasitas 20 meter kubik.
Istrinya, Saidah, 50, menjelaskan jika kompor biogas mulai bisa dinyalakan usai Idul Fitri lalu. Awalnya, ia jijik memasak dengan kompor biogas. Namun, lama -kelamaan menjadi terbiasa. Program yang berasal dari APBD Provinsi Jawa Tengah 2022 itu dianggap ampuh menghemat gas elpiji untuk memasak.
“Alhamdulillah sekarang tidak beli gas elpiji lagi. Sudah satu bulan. Biasanya dua minggu sekali beli 3 kg. Sekarang tinggal ngisi tletong saja, dua hari sekali,” katanya.
Ia pun mencoba menyalakan kompor yang lokasinya tidak memiliki sekat dengan kandang sapi itu. Cetek. Gas yang mulai menyembur dipantik dengan korek gas. Aromanya lebih alami dibandingkan bau gas elpiji yang menyengat. Saidah pun langsung memanaskan sayur di atasnya. Proses itu tidak mempengaruhi rasa masakan yang dibuatnya.
Enam rumah telah tersambung dengan pipa biogas dari kandang tersebut. Seluruhnya gratis, mulai dari penampungan biogas, pipa ke rumah-rumah, hingga kompornya.
Tetangga Saidah semula juga jijik memasak dengan kompor biogas. Karena hemat, kini mereka ketagihan. Seperti Suripah, 45, dalam sebulan tabung gas elpiji 3 kilogram miliknya belum habis. Gas itu digunakan untuk bergantian memasak.
“Awal-awal anak saya tidak mau sama baunya itu. Sekarang kalau dinyalain lima menit sudah tidak bau,” tutur Suripah
Muhamidin sendiri berharap, seluruh dukuh di Desa Wonokerso memanfaatkan biogas. Sekarang baru enam dukuh dari 10 dukuh yang memanfaatkannya.
Terpisah, Kepala Cabang Dinas ESDM Wilayah Serayu Utara Suhardi menjelaskan, jika program itu merupakan stimulus untuk kemandirian energi di desa. Sehingga masyarakat dapat mengembangkan sendiri dengan didampingi oleh NGO Yayasan Rumah Energi. Biaya per unitnya bervariasi. Untuk ukuran 6 meter kubik sampai 100 meter kubik biaya antara Rp 18 juta sampai Rp 200 juta.
“Ini dilaksanakan secara swakelola dengan tujuan agar terdapat alih teknologi. Sehingga masyarakat desa dapat membuat sendiri digester biogas dengan menggandeng Yayasan Rumah Energi sebagai pendamping. Selain gas, limbah kotoran sapi ini juga tetap menghasilkan pupuk tanaman yang berkualitas,” tandasnya. (yan/aro)