RADARSEMARANG.COM, Semarang – Setelah 2,5 tahun tertahan di meja pimpinan DPR, belasan Pekerja Rumah Tangga (PRT) datang ke kantor DPRD Jateng mendesak pengesahan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PRT).
Mereka datang dengan mengenakan kain jarik. Kemudian kepala diikat serbet serta membawa payung hitam bertuliskan ‘Sahkan UU PRT’. Para PRT ini terus mendesak agar segera mengesahkan RUU PRT setelah 19 tahun mangkrak.
Ketua Serikat PRT Merdeka, Nur Khasanah menegaskan upayanya agar UU PRT ini segera dibahas. “Kami datang untuk mendesak anggota dewan supaya membahas RUU PRT ini menjad RUU yang segera disahkan,” jelasnya usai melakukan audiensi di Gedung DPRD Jateng, Rabu (21/12).
Menurutnya sudah 2,5 tahun UU PRT ini tertahan di meja pimpinan DPR RI. Padahal PRT sangat membutuhkan UU tersebut disahkan agar bisa melindungi hak pekerja.
“Saat ini progresnya masih di meja pimpinan DPR RI. Sudah 2,5 tahun ini tidak dibahas dan tidak ada pembahasan sama sekali. Di akhir tahun ini, kami mendesak pimpinan DPR RI segera mengagendakan pembahasan,” jelasnya.
Aksi serentak yang bertajuk Payung Duka Seribu PRT ini juga dilakukan di delapan kota. Selain di Semarang, aksi juga dilakukan di Malang, Surabaya, Jakarta, DI Yogyakarta, Makassar, Tangerang Selatan, dan Medan.
Mereka beraksi di depan kantor DPRD di masing-masing daerah. Tujuannya sama, memberikan perlindungan pada PRT dan diakui sebagai pekerja oleh pemerintah.
Nur Khasanah menambahkan kondisi PRT semakin memprihatinkan. Lebih lanjut, menurut data ILO 2015, Jateng merupakan provinsi ketiga yang mempunyai PRT paling banyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur, yakni 630 ribu orang. Banyak kasus kekerasan yang menimpa teman-temannya. Mulai dari kekerasan fisik, psikis, pemotongan upah secara sepihak, dan kekerasan verbal lainnya. Selain itu, perlindungan sosial dan jaminan kesehatan.
“Karena kami sendiri belum diakui ada perlindungan terkait PRT yaitu belum ada UU PRT. Kami terus berusaha agar PRT ini mendapat jaminan sosial baik kesehatan maupun ketenagakerjaan,” imbuhnya.
Pihaknya mendapat keringanan untuk bisa mendaftarkan PRT menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Namun dalam golongan BPU (Bukan Penerima Upah).
“Nah itu sebenarnya terdiskriminasi ya, terkait dengan PRT ini menerima upah tapi belum diakui sebagai pekerja. Makanya di BPJS Ketenagakerjaan sendiri kami masuk di BPU,” tandasnya. (kap/ida)