RADARSEMARANG.COM – Dua tahun pandemi Covid-19 membuat banyak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Demak gulung tikar. Salah satunya adalah Tribal Cloth milik Rudi Ningrat, warga Dukuh Jasun, RT 2 RW 1, Desa Temuroso, Kecamatan Guntur.
Usaha sablon yang dimiliki sempat kolaps lantaran kehabisan modal. Tetapi dengan semangat untuk keluarga Rudi mulai bangkit. Jalannya semakin terbuka ketika berkesempatan bisa memanfaatkan Lapak Ganjar.
Pelan tapi pasti, usaha Rudi mulai bangkit. Dengan Lapak Ganjar produk miliknya mulai banyak diincar sampai seluruh Indonesia. “Saya merasakan sendiri manfaat Lapak Ganjar yang bisa mendongkrak ekonomi usaha kecil termasuk sablon kaos ini,” aku Rudi kepada RADARSEMARANG.COM.
Saat ada pesanan, ia selalu menanyakan dari mana informasi Tribal Cloth. Ternyata rata-rata mereka tahu dari Lapak Ganjar. “Jadi, tiap ada orang yang pesan selalu saya tanya seperti itu. Dan, jawab mereka, tahunya ya saat saya repost artikel desain produk di Lapak Ganjar itu,” ujarnya.
Rudi tidak hanya melayani pesanan banyak. Bagi yang pesan kaos satuan tetap dilayani sesuai permintaan dari pemesan dari Lapak Ganjar serta pemasaran online di medsos. Ia dua kali di Lapak Ganjar.
Saat itu, ada order buat kaos bergambar Bung Karno dari mahasiswa marhaenisme di Kalimantan. Ketika saya upload sempat belum di-repost. Baru di-repost Pak Ganjar saat momen khusus repost tukang sablon.
“Follower langsung naik 100 sampai 200 follower. Hari itu juga ada order dari Semarang baik komunitas maupun restoran. Mereka pesan karena tahu dari Lapak Ganjar,” tambahnya.
Rudi memang sudah sudah mulai bangkit. Tapi belum sepenuhnya normal. Kendala ada di permodalan. Saat pandemi, mobil, dan motor dijual untuk nyicil utang di perbankan. “Dulu sempat ambil KUR BRI Guntur Rp 25 juta. Saat pandemi, tidak bisa mengangsur dan akhirnya, apa yang saya punya saya jual untuk menutup utang,” kenangnya.
Saat ini, karyawan tinggal dua dan belum bertambah. Karyawan membantu di bagian produksi, cetak dan finishing. Untuk desain dijalankan. Ia bersyukur, alat produksinya masih lengkap. “Peralatan sablon saya cukup lengkap. Ya, profesional sablon. Dulu peralatan beli sendiri,” tambahnya.
Untuk memulihkan usaha, paling dibutuhkan sekarang adalah permodalan. Setidaknya butuh modal minimal Rp 20 juta. Sebelum pandemi, ketika ada order bisa cukup dengan nyicil atau DP (down payment) dulu. Misalnya, jumlah pesanan senilai Rp 3 juta, maka bisa di DP dulu berapa.
“Sekarang, kalau DP kita tidak bisa produksi. Dulu bisa memberi harga spesial bagi siswa yang pesan setidaknya ada selisih Rp 10 ribu dari harga pasaran. Sekarang tidak bisa lantaran kehabisan modal,” ujarnya.
Pandemi mulai usai, tetapi masih belum ada event besar. Saat ada event motor, ia pernah mendapat pesanan 1.700 kaos. Pasca korona belum ada pesanan sebanyak itu. Pesanan di Lapak Ganjar paling banyak 300 kaos. Sejak 2016, ia membuat sekitar seribuan artikel desain.
Temanya macam-macam. Ada desain suporter, sekolahan, komunitas motor, pondok pesantren (ponpes), anak punk, metal, grup band, dan lainnya. Ilmu desain diperoleh otodidak. Paling hanya ikut seminar tentang allout sablon termasuk marketing dan teknik desain. Seperti di Jogja, Solo, Jombang, Madiun dan lainnya.
“Semua belajar sendiri. Pelatihan belum pernah. Hanya tutorial dari Youtube seperti saat membuat meja sablon,”katanya.
Ia mengaku nyablon kaos kali pertama lantaran iseng. Ceritanya, ia pernah merantau menjadi anak punk di Kalimantan Tengah tahun 2009-2012. Ngepunk sambil belajar atau sinau urip di alam. Seperti di Pangkalan Bun, Sampit dan Palangkaraya. “Saya ikut menetap di tempat sablon dan bantu tapi tidak dibayar. Yang penting bisa merokok ngopi sudah senang,” kenangnya.
Setelah pulang ke Demak sempat kerja serabutan dan kemudian memutuskan membuka usaha sablon 2016. Tahun pertama berkembang pesat. Pesanan banyak. Awal 100 kaos. Lalu, mencoba mengenalkan produk dengan cara di-upload di media sosial. “Desainnya pendekar perantauan Demak-Jakarta. Kaos masih harga Rp 55 ribu,” tambahnya.
Tahun kedua Tribal Cloth bisa melayani pesanan produksi meja sablon. Bahkan, para pemilik sablon di Kalimantan tempatnya menimba ilmu ikut pesan meja sablon. Perbulan saat itu bisa mendapat order 3-7 unit meja. Pesanan dari dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Meja sablon dibuat dari bahan besi dan papan. “Produksi sendiri merangkai sendiri. Besi papan dibeli dari toko material. Lalu, dilas dipotong sendiri. Belajar dari Youtube,” akunya.
Menginjak tahun ketiga, terus berinovasi dengan desain sendiri. Kaos dibuat sendiri dengan bantuan saudara yang mempunya konveksi. Namanya Tribal Apparel. “Saat ada pesanan banyak dibuat sendiri dengan konveksi yang ada. Namun, bila pesanan sedikit pesan ke orang lain,” ujarnya.
Rudi mengakui 2016-2019 awal masa masa bisnis sablon berjalan baik. Usahanya stabil. Pandemi di tahun 2020 hingga 2022, membuat usaha sablon kolaps dan sekarang belum sepenuhnya bangkit. “Untuk order meja sablon sama sekali belum ada. Kalau untuk kaosnya akhir 2021 sudah mulai ada pesanan dan tiga bulan ini hampir stabil seperti dulu,” katanya.
Selama pandemi, usaha yang penting bisa bertahan. Sebab, ramai karena komunitas yang banyak order. Untuk bertahan kita bikin brand Tribal Cloth ini. Kita jualan berbasis pemasaran online seperti di Shopee, Instagram, Facebook dan lainnya. “Prinsipnya, daripada tutup karena tidak ada event, maka kita berpikir bagaimana usaha bisa tetap bertahan. Sejauh ini, belum pernah ada bantuan modal dari pemerintah,” aku Rudi. (hib/fth)