RADARSEMARANG.COM, Semarang – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jateng mendesak pemerintah daerah mengatur pengetatan baku mutu udara dalam proyek waste to energy Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Surakarta dan Semarang.
Pasalnya, kedua proyek infrastuktur nasional itu berpotensi melepaskan emisi beracun dioksin dan furan. Lalu menghasilkan residu fly ash dan bottom ash (FABA) yang mengancam kesehatan masyarakat sekitar. Kemudian tanpa adanya peraturan daerah, kondisi udara akan memburuk terutama di lokasi proyek.
Direktur Eksekutif WALHI Jateng Fahmi Bastian memahami bila pelaksana proyek di tingkat kabupaten atau kota tak mungkin mengabaikan Perpres nomor 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan dari pusat.
Namun sebagai antisipasi kerugian yang ditimbulkan, perlu aturan dan kajian lebih lanjut. Mulai dari pengetatan baku mutu udara, keterbukaan informasi proyek, hingga pelibatan partisipasi masyarakat terdampak dan organisasi masayakat sipil.
“Sebenarnya ini solusi palsu yang mencoba menyelesaikan masalah secara praktis di hilir saja,” ujarnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Pihaknya menilai, PLTSa hanya menjadi solusi semu bagi persoalan sampah di daerah. Proyek memakan ongkos besar dengan pembiayaan investor, sedangkan listrik yang dihasilkan hanya dihargai murah oleh PLN. Saat ini PLTSa di Solo sudah hampir selesai, sedangkan di Semarang masih tahap kajian dan lelang.
Kemudian bahan sampah yang digunakan untuk proses konversi energi ialah sampah kering. Padahal sampah yang terbuang di TPA selama ini masih tercampur antara organik dan anorganik. Sehingga akan memerlukan pekerjaan dan ongkos tambahan untuk memisah sampah kering di TPA.
Menurut Fahmi, untuk menangani persoalan sampah di Surakarta, pemerintah daerah justru perlu mendorong masyarakat menerapkan gaya hidup minim sampah dan menjadi zero waste city. Dengan begitu produksi timbulan sampah di TPA Putri Cempo Solo dapat berkurang secara masif. “Mestinya kita memperbaiki sistem pengelolaan sampah dari hilir, dari akarnya,” tegas fahmi.
Pasalnya pengangkutan sampah di kampung masih dicampur sampai sekarang. Sebagian masyarakat kehilangan semangat memilah sampah karena sistem itu. Sedangkan sebagian lainnya masih memerlukan edukasi untuk mendorong kesadaran pilah sampah. (taf/ida)