RADARSEMARANG.COM, Semarang – Komisi Penyiaran Daerah (KPID) Jawa Tengah memantau isi siaran secara rutin. Baik saluran televisi, radio, maupun linknya. Pada semester I, periode Januari hingga Juni 2021 ditemukan sebanyak 783 potensi pelanggaran isi siaran.
Koordinator Bidang Isi Siaran Ari Yusmindarsih mengatakan, potensi pelanggaran pada konten yang dianggap tidak sesuai etika penyiaran masih dapat ditoleransi, dan belum perlu disanksi. Namun jumlahnya yang terus bertambah harus menjadi evaluasi oleh pihaknya.
“Potensi pelanggaran tertinggi pada kategori kekerasan sebanyak 35,9 persen, dan pelanggaran perlindungan anak 35,5 persen. Paling sedikit konten penyalaahgunaan napza, perjudian, dan rokok,” tuturnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Dikatakan, tingginya tayangan yang menampilkan kekerasan yang tidak ramah anak menunjukkan bahwa siaran media belum dapat dikonsumsi anak-anak tanpa pengawasan orang tuanya. Baik kata-kata kasar, dan perundungan yang kerap muncul di program reality show, maupun perilaku penindasan di tayangan fiksi atau sinetron.
“Tayangan seperti ini kalau disuguhkan setiap hari akan sangat rawan untuk perkembangan psikologis anak, dan berdampak dengan perilakunya secara tidak langsung,” imbuhnya.
Ketua KPID Jateng Muhammad Aulia membenarkan hal tesebut. Bila tayangan dengan nilai negatif terus disuguhkan ke public, maka dapat menimbulkan dampak buruk. Seperti mewajarkan adanya kekerasan dalam rumah tangga, dan perilaku buruk lainnya.
“Lembaga penyiaran harus rajin mengukur ulang apakah siarannya sudah aman bagi pemirsa. Mari padatkan unsur edukasinya, sajikan informasi yang baik, hiburan yang sehat dan aman bagi pemirsa,” tandasnya.
Dengan evaluasi yang dilakukan secara berkala, pihaknya berkomitmen menindak tegas siaran tidak ramah anak dan sensitif gender. Seperti halnya sinetron suara hati istri yang sempat melibatkan anak dalam peran dewasa.
Lebih lanjut dikatakan, sebanyak 10 persen dari total pelanggaran, perempuan masih kerap ditonjolkan sebagai objek seksual dengan adegan erotis. Kekerasan fisik dan verbal yang kerap digambarkan dalam sinetron. Hingga body shaming, dan menampilkan perempuan sebagai figur antagonis ataupun tak berdaya.
“Selain terus melakukan evaluasi, kami telah merancang 70 program literasi media dengan berkeliling ke kabupaten dan kota di Jateng. Jadi, masyarakat juga memahami kalau mereka punya peran besar untuk ikut mengontrol siaran yang tayang di layar kaca mereka,” ujarnya.
Aulia mengungkapkan, Jawa Tengah termasuk daerah dengan partisipasi masyarakat tertinggi untuk memberi aduan soal pelanggaran penyiaran. Sebanyak 198 aduan masuk melalui berbagai kanal. (taf/aro)