RADARSEMARANG.COM, Semarang – Pemprov Jateng meminta setiap daerah yang ada di zona merah untuk mengonversi rumah sakit umum menjadi khusus penanganan pasien Covid-19.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jateng Yulianto Prabowo mengatakan, hal itu dilakukan sebagai solusi atas penuhnya bed atau tempat isolasi di semua rumah sakit. “Khusus yang berzona merah dulu yang musti dikonversi,” ujar Yulianto kepada RADARSEMARANG.COM, Rabu (16/6/2021).
Hal tersebut juga sebagai relaksasi rumah sakit yang berada di wilayah non zona merah. Adapun 11 zona merah di Jateng, yakni Kabupaten Kudus, Jepara, Pati, Demak, Grobogan, Sragen, Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten Semarang, Wonogiri, dan Karanganyar.
Seperti diketahui, jumlah daerah zona merah di Jateng kini ada 11 wilayah. Kondisi keterisian bed tempat isolasi maupun ICU khusus Covid-19 di daerah tersebut juga sudah penuh. Pasien yang tidak memperoleh bed atau tempat isolasi dirujuk ke rumah sakit luar wilayah yang notabene tidak berstatus zona merah. Setidaknya, dengan konversi rumah sakit umum di zona merah tersebut akan memberikan relaksasi bagi rumah sakit di wilayah non zona merah yang menjadi rujukan.
Sehingga rumah sakit milik pemerintah harus fokus dan diprioritaskan untuk menangani pasien Covid-19 dengan gejala. “Saya kira rumah sakit juga harus tetap diupayakan untuk penambahan tempat tidur. Itu harus diupayakan semuanya untuk rumah sakit yang ada di sana,” ujarnya.
Konversi rumah sakit umum menjadi khusus pasien Covid-19 tersebut dari pikiran dasar masifnya persebaran Covid-19 varian baru. Sehingga potensi keterisian ruang isolasi akan semakin tinggi. “Maka harus ada upaya yang lebih lagi. Salah satunya, rumah sakit di mana pun diutamakan rumah sakit pemerintah dulu, untuk dikonversi menjadi rumah sakit khusus Covid-19,” terangnya.
Pihaknya pun masih meminta setiap daerah zona merah di Jawa Tengah untuk meningkatkan ketersediaan tempat tidur di rumah sakit. Baik itu ICU maupun tempat tidur isolasi.
Menurutnya, pemkab/pemkot se-Jateng juga harus menyiapkan kontinjensi plan apabila terjadi situasi darurat berkaitan dengan kapasitas tempat tidur di rumah sakit.
Selain itu, pihaknya mengimbau kepada pemerintah daerah agar tidak pernah berhenti melakukan edukasi dan sosialisasi protokol kesehatan kepada masyarakat. “Pemerintah daerah setempat dengan dibantu TNI/Polri dan organisasi masyarakat harus semakin intensif mendisiplinkan masyarakat tentang gerakan 5M,” katanya.
Sementara itu Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Kota Semarang setiap hari menyiapkan 10 sampai 15 lubang untuk pasien Covid-19 yang meninggal di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jatisari, Mijen, Semarang.
“Kebutuhannya sangat tinggi, kita siapkan 10 sampai 15 lubang. Permintaannya setiap hari mencapai 10 lubang, sehingga kita gunakan alat berat untuk menggali liang kubur. Apalagi lahan di sana banyak material batu, sehingga menyulitkan jika digali dengan tenaga manusia. Posisi lahannya juga miring,” katanya saat ditemui RADARSEMARANG.COM, Rabu (16/6/2021) siang.
Pipie –sapaan akrabnya– menjelaskan, satu alat berat berupa eksavator kecil dipinjam Disperkim dari DPU. Setelah lubang jadi, baru petugas pemakaman di TPU Jatisari merapikan lubang yang dibuat. “Kalau tidak kita siapkan, kasihan tenaga yang ada di pemakaman, karena kebutuhannya tinggi. Kadang juga korban Covid-19 datangnya pada malam hari sampai tengah malam,” tambahnya.
Sampai akhir tahun ini, lanjut dia, di TPU Jatisari menyisakan 400 lubang untuk lahan seluas 3 hektare yang saat ini telah digunakan. Angka tersebut sesuai dengan pengalaman di awal Covid-19 yang mencapi angka 400 sampai 500 makam telah digunakan. Namun langkah antisipasi juga dilakukan perluasan lahan sesuai dengan detail engineering desain (DED) yang sudah ada.
“Kita belajar dari tahun kemarin, untuk menyiapkan 400 lubang ini secara bertahap. Kalau memang dibutuhkan ya kita siap melakukan perluasan atau membuka lahan yang masih ada,” tambah Kasi Penyelenggaraan Pemakaman Disperkim Kota Semarang Djunaidi.
Sementara untuk tenaga pemakaman, khusus di TPU Jatisari ada empat sampai lima petugas. Namun karena tingginya permintaan angka pemakaman, akhirnya petugas TPU terdekat dikerahkan untuk stanby selama 24 jam. “Bukan hanya dari Semarang, ada juga yang dari luar Semarang. Problemnya adalah ketika harus memakamkan bereng, datangnya pun tengah malam,” tambah Djunaidi.
Ditanya tentang apakah ada permintaan dari keluarga untuk membongkar makam yang sempat diduga Covid-19, namun akhirnya hasil tes PCR negatif? Pipie mengakui jika ada permintaan itu yang datang kepada dirinya. Namun dengan tegas, Disperkim menolak karena memiliki risiko tinggi bagi petugas pemakaman.
“Ada yang mengajukan, tapi tidak kabulkan karena risikonya tinggi, temen-temen kami di lapangan bisa terkena penyakit dan risiko buat lingkungan juga ada. Misalnya ingin dibongkar, ada aturannya minimal 2 tahun lebih. Permintaan itu ada yang datang langsung, ada juga yang by phone,” katanya. (den/ewb/aro)