RADARSEMARANG.COM, Pekalongan – Menyandang gelar atau title tentu membuat seseorang bangga. Namun, title yang didapat belum tentu bisa membuat seseorang produktif. Habib Luthfi bin Ali bin Yahya menyebutnya ‘kabotan title’, atau keberatan gelar yang disandang.
“Seumpama saya sarjana ekonomi. Mau dagangan rokok kecil-kecilan, karena tidak ada modal, gengsi dong. Sarjana ekonomi kok dagang rokok, kita harus daftar ke PT, CV, dan sebagainya. Karena persepsi itu, oknum tersebut mogok tidak mau bekerja karena kaboten title,” ujar Habib Luthfi di sela pemberian Anugerah RADARSEMARANG.COM, Selasa (24/11/2020).
Ilmu memiliki dua persepsi, sebagai sarana dan tujuan. Hal tersebut tergantung seseorang memelihara ilmu itu sendiri. Sebagai bekal hidup, ilmu bisa menjadi sarana untuk menjadi TNI, Polri, pegawai negeri, dan lain-lainya.
Selain itu, seseorang bisa mandiri, dengan kreativitas kerja dan lain sebagainya. Melui cocok tanam dan dagangan kecil-kecilan. Ilmu dilepaskan tidak untuk kegensian pribadi. Jika ilmu dimanfaatkan sebagai bekal hidup, akan lebih berhasil. Karena sifat mandiri yang dibekali dengan ilmu itu akan sangat berguna.
Orang yang mementingkan bahwa ilmu itu sebagai bekal individu, prinsipnya cuma satu. Bisa bekerja secara halal. “Mboh dodolan rokok, mboh dodolan apa, yang penting halal. Bagaimana saya bisa mendapatkan keuntungan. Bisa dikelola sehingga kita punya permodalan. Inilah ilmu dijadikan sebagai bekal hidup, bukan untuk tujuan,” jelasnya.
Jika ilmu dijadikan sebagai tujuan, hal tersebut malah menjadi beban. Karena ilmu dan title dijadikan sebagai kebanggaan. Sehingga untuk penerapannya di masyarakat akan dipilah-pilah. Merasa tidak pantas mengaplikasikan ilmunya di skala kecil.
“Kalau untuk tujuan, kalau kebetulan mentalnya tidak kuat, yang ada frustasi. Aku wes lulus sarjana A, B, C, D jadi pegawai negeri susah, jadi TNI susah, masuk Akmil, Akpol susah, terus bagaiman,” tandasnya. (yan/bas)