RADARSEMARANG.COM, Semarang – Upaya deradikalisasi terus dilakukan pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Utamanya kepada eks napiter, agar mereka dapat kembali menjalani hidup di tengah masyarakat.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Jawa Tengah Haerudin mengatakan bahwa di Jawa Tengah jumlah napiter, yang masih berada di lapas, ada 223 orang. Sementara jumlah eks napiter, hingga saat ini ada 127 orang. Dari jumlah tersebut, paling banyak berada di wilayah Solo Raya.
Mengacu hasil penelitian yang difasilitasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) ia mengatakan bahwa Solo Raya memang menjadi wilayah merah radikalisme. Ini sesuai data Badan Kesbangpol Jawa Tengah, yang menunjukkan bahwa jumlah eks napiter di kota Surakarta adalah terbanyak, 28 orang.
”Karena hasil penelitian, mau tidak mau, senang tidak senang, harus kita terima. Tugas kita selanjutnya adalah melakukan upaya deradikalisasi. Agar eks napiter bisa kembali ke masyarakat,” ujarnya di kawasan kantor gubernur Jawa Tengah, Rabu (19/2/2020).
Dalam upayanya ini, kesbangpol menggandeng tokoh masyarakat, tokoh agama, organisasi keagamaan, untuk bersama-sama merangkul para eks napiter untuk melakukan reintegrasi. Bagaimanapun, ia katakan, para eks napiter ini adalah warga Jawa Tengah yang telah menjalani proses sebagai narapidana untuk dapat kembali ke masyarakat.
”Bersama sejumlah OPD terkait, kami akan melakukan pembinaan dan pemberdayaan kepada eks napiter ini. Karena yang menjadi persoalan adalah bagaimana mereka dapat kembali hidup wajar ke depannya,” ujarnya dengan menambahkan, dalam upaya ini pihaknya juga bekerjasama dengan salah satu yayasan berpusat di Jakarta.
Ia mengatakan, dari jumlah eks napiter di Jawa Tengah 39 diantaranya sudah bergabung dengan Yayasan Gema Salam, wadah bagi mantan narapidana teroris, di Solo. Ini memudahkan untuk melakukan pemberdayaan.
”Sisanya, jujur saja kami masih melakukan komunikasi dan diskusi. Karena mereka belum 100 persen menyatu dengan kita. Mereka belum terbuka untuk melakukan pertemuan. Ini yang masih kita lakukan pendekatan person to person,” ujarnya.
”Memang cukup sulit karena dari yang sebelumnya tertutup untuk menjadi terbuka memang butuh proses. Ini masalah waktu saja,” tambahnya. (sga/bas)