RADARSEMARANG.COM, Semarang – Kuasa hukum korban rekayasa pailit, John Richard Latuihamallo menyoroti permintaan penangguhan penahanan terdakwa Agustinus Santoso. Menurutnya hal itu tidak logis dan dapat memperlambat pemeriksaan perkara yang berlangsung di Pengadilan Negeri Semarang.
Ia mengungkapkan, meski beralasan sakit namun tidak seharusnya terdakwa mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Bahkan, ia menyebut terdakwa sebenarnya tidak sakit karena saat sidang pertama, kuasa hukum terdakwa meminta agar Agustinus dihadirkan secara langsung di persidangan.
“Saya pikir majelis hakim tidak semudah itu mengabulkan permintaan. Ditambah adanya pemberian jaminan berupa uang karena sakit. Kalaupun memang sakit, banyak tahanan sakit tapi tidak ditangguhkan penahanannya. Demi kepastian hukum, ya penahanan tetap dilakukan,” ujarnya.
John mengapresiasi majelis hakim yang tidak mengabulkan permintaan tersebut. Justru telah memperpanjang penahanan. Ia menilai, dengan kondisi terdakwa sakit, negara pasti akan memberikan perawatan tanpa harus membebaskan dari tahanan. “Tapi perbuatannya tetap melekat pada apa yang dilakukannya. Hal semacam itu sudah banyak terjadi penegakkan hukum pada terdakwa yang sakit,” ujarnya.
Mewakili korban Kwee Foeh Lan, John berharap majelis hakim tetep konsisten dengan ketetapannya. Dengan itu, proses hukum dapat cepat selesai. “Jangan kemudian dipersulit untuk menghambat proses pidana. Apalagi saat sidang pertama ada permohonan terdakwa dihadirkan di persidangan kan dari kuasa hukumnya, artinya dia memang tidak sakit,” ujarnya
John kembali menegaskan perbuatan Agustinus Santoso bersama Agnes Siane telah melakukan rekayasa pailit. Bahkan hal itu sudah tertuang dalam putusan perkara pidana Agnes Siane dari tingkat pertama hingga Peninjauan Kembali (PK) yang memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan begitu, tindak pidana terhadap Agustinus tetap melekat sebagaimana putusan PK. “Secara hukum seharusnya majelis mengikuti putusan perkara-perkara yang terdahulu karena perkara secara limitatif sudah menjadi yurisprudensi,” akunya.
John mengingatkan, akibat perbuatan keduanya menyebabkan kliennya yakni Kwee Foeh Lan tidak dapat menguasai objek tanah SHM NO 15 di Jalan Tumpang No 5 Kecamatan Gajahmungkur, Semarang. Dimana objek tanah itu adalah Harta bersama milik Kwee Foeh Lan dan suaminya Kiantoro Najudjojo.
Joh menyebut ada beberapa niat jahat yang diwujudkan dalam perbuatan pidana (actus reus) dilakukan terdakwa. Di antaranya ingin menguasai objek tanah yang patut telah diketahui oleh terdakwa perihal putusan perdata kepemilikan tahun 2011 yang memenangkan Kwee Foeh Lan. Secara praktis, Agnes Siane mengetahui dirinya kalah. Tapi Agnes Siane mengajukan upaya hukum kasasi namun kalah. Sehingga tanah tidak bisa dibalik nama atas nama Agustinus Santoso yang telah membeli dari Bank Mayapada. Akhirnya, Agustinus melawan hukum dengan melakukan penggelapan.
“Modusnya melakukan rekayasa kepailitan secara bersama-sama dengan Agnes Siane, sengketa objek tanah bukan terikat utang piutang namun karena adanya pengikatan jual beli. Adanya mens rea tersebut, patut jika terdakwa diadili sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum,” tambahnya. (web/ifa/fth)