Perihal proses kepailitan yang cacat formil, selain Agustinus maupun Siane dan pihak lain di antaranya majelis hakim, hakim pengawas, dan kurator John memyebut akan meminta pertanggungjawaban sesuai hukum yang berlaku. Pasalnya, sudah jelas tidak sesuai dengan undang-undang tetap dilanjutkan bahkan diputus pailit. Setelah putus pailit, dilakukan lelang. “Dalam lelang itu seharusnya dibagikan pada para kreditur, tapi faktanya tidak ada kreditur lain sehingga membuat Agustinus selaku kreditur tunggal membagi sendiri objek tanah tersebut. Itu termasuk rekayasa,” beber John.
Bagi John, disitulah letak adanya mens rea atau niat jahat. Sehingga apa yang dikatakan dalam eksepsi mengenai tidak adanya mens rea adalah kebohongan. Kata John, hal itu termasuk membohongi persidangan. Padahal perkara itu sudah ada putusan pengadilan dimana Agustinus dinyatakan bersama-sama dengan Agnes Siane melakukan rekayasa kepailitan. Yakni tertuang dalam putusan pidana Agnes Siane No. 256/Pid.B/2020/PN.Smg tanggal 27Juli 2020, kemudian putusan Pengadilan Tinggi No. 370/Pid/2020/PT Smg, lanjut lagi putusan kasasi di Mahkamah Agung No. 157K/Pid/2021 tanggal 23 Februari 2023, dan vonis Peninjauan Kembali (PK) No 25K/Pid/2023 Tanggal 7 Maret 2023 telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Mengenai proses hukum yang baru berjalan setelah tiga tahun padahal merupakan perkara bersama-sama, seharusnya kuasa hukum menanyakan ke penyidik. Di situ bisa dapat membuktikan bahwa proses penyidikan terhadap tersangka ada yang tidak beres.
Seperti dalam tahap pelimpahan tersangka dan barang bukti ke kejaksaan, membutuhkan waktu satu bulan dengan alasan Agustinus sakit. Akan tetapi pada saat pelimpahan tersangka ke 17 Mei 2023, dilakukan pemeriksaan kesehatan tidak ada sakit.
“Artinya, ada upaya untuk mempersulit proses pemeriksaan kasus ini di dalam penuntutan dan persidangan,” kata John.
Di sisi lain mengenai permohonan perlindungan hukum pada negara dinilai keliru. Pasalnya Agustinus Santoso sendiri yang justru merusak hukum itu sendiri. (ifa/web/zal)