RADARSEMARANG.COM, Semarang – Pendamping keluarga korban kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Witi Muntari menyesalkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya delapan tahun untuk terdakwa Dhanny Mardianto. Padahal, akibat KDRT itu mengakibatkan korban LDA yakni istri terdakwa meninggal dunia.
“Tuntutan 8 tahun bagi pelaku KDRT yang menyebabkan korban meninggal dunia sangatlah menciderai rasa keadilan. Tidak sebanding dengan dampak yang diderita korban yang menyebabkan korban meninggal dunia,” ujar pendamping keluarga korban dari LRC KJHAM Witi Muntari ditemui RADARSEMARANG.COM usai sidang di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (8/3).
Witi menjelaskan, berdasarkan hasil otopsi, terdapat beberapa luka di bagian tubuh korban. Luka itu berasal dari penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal. Selain itu, kasus ini berdampak terhadap anak korban yang masih berusia 6 tahun.
Perlu diketahui, kasus tersebut terjadi di Sendangguwo, Kecamatan Tembalang. Seorang wanita ditemukan tewas di kamar dalam kondisi pintu digembok. Berdasarkan pemeriksaan polisi, korban tewas setelah dihajar dan dicekik suaminya sendiri pada Oktober 2022 lalu.
Atas tuntutan yang tak memuaskan itu, Witi meminta Majelis Hakim yang memeriksa perkara nomor : S3/Pid.Sus/2023/PNSmg agar memutuskan perkara ini dengan memberikan putusan maksimal yakni 15 tahun pidana penjara sesuai dengan Pasal 44 ayat (3) UU 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. “Harusnya hukuman maksimal karena penyiksaan itu berulang, lebih parahnya sampai korban meninggal,” tambahnya.
Selain itu, ia juga mendesak majelis hakim agar memasukkan pemenuhan hak keluarga korban termasuk hak anak korban ke dalam putusan.
Sementara itu, JPU Steven Lazarus menyatakan, tuntutan itu sudah sesuai. Ia menuturkan, dalam perimbangan memberatkan seharusnya sebagai suami, terdakwa menjaga istri. Namun, yang dilakukan sebaliknya yakni menganiaya sampai istrinya meninggal.
Sedangkan pertimbangan meringankan karena terdakwa mengakui kesalahan, menyesali, kemudian juga menyerahkan diri ke kepolisian. “Kalau maksimal itu harus ada pemberatan misalnya perencanaan. Ini kan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan matinya korban,” jelasnya.
JPU menambahkan, dalam kasus ini pihaknya menyertakan pasal pembunuhan. Namun, karena terdakwa merupakan suami dan korban merupakan istri, kemudian diatur dalam undang-undang khusus atau lex specialis. “Makanya pembuktiannya di UU khusus yang mengatur itu,” tuturnya. (ifa/ida)
