Namun demikian, pihaknya mengakui dengan membuka keterbukaan tersebut juga menimbulkan permasalahan dan risiko tinggi. Alasannya, banyak masukan, termasuk permasalahan yang harus terselesaikan. Namun pihaknya mengaku sangat bangga dengan mahasiswinya yang memiliki keberanian menyampaikan pendapat.
“Bahkan kemarin juga sudah diundang LR Dikti, karena mungkin dari Kementerian Riset Dikti juga sudah dengar. Saya sudah sampaikan surat perjalanan kasusnya, sampai pada proses konseling pendampingan dan sebagainya,” jelasnya.
Pihaknya mengaku akan terus mengawal PPKS, dan mendorong kementerian untuk melakukan keterbukaan pada masing-masing perguruan tinggi. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya hal serupa.
“Saya kira kalau ada keterbukaan di semua perguruan tinggi, maka pasti ada temuan-temuan seperti itu. Bagaimana pun kita harus mencegahnya. Bagaimana kalau kasus itu muncul, bagaimana pendampingannya. Kan seperti itu,” katanya.
Menanggapi kasus tersebut sampai ke ranah hukum, pihaknya menjelaskan telah melakukan mediasi dan secara kekeluargaan terhadap pihak-pihak yang bersangkutan pada masalah ini.
Menanggapi adanya dugaan korban lain, Tri Leksono mengatakan akan melakukan identifikasi secepat mungkin. “Sebab, penyakit yang dikhawatirkan oleh pimpinan Ristek Dikti, yakni asusila, radikalisme, bullying, dan narkotika,” ujarnya.
Saat ini, kelima korban telah dilakukan trauma healing melalui konselor dan psikolog. “Anaknya sekarang sudah pada kuliah lagi. Kalau ketemu sama teman-temannya juga say hello. Jadi memang tidak ada bekas. Tapi kalau ketemu dengan pelaku takut, nangis,” katanya.
Pihaknya kembali menegaskan telah memberhentikan pelaku sejak 2 Februari 2023 lalu dan sudah ada permintaan maaf. Namun Tri Leksono enggan menyebutkan bidang pekerjaan pelaku.
“Pelakunya satu orang, karyawan tetap, sudah kita berhentikan. Prosesnya kita panggil, klarifikasi dulu. Korban kita mintai keterangan dan untuk bukti konselingnya. Kita pegang untuk dasar memutuskan dan menegakkan aturan yang ada,” jelasnya.
“Kalau aturan kepegawaian dari Unisvet memang ada klausul itu. Kalau memang ada yang menjurus pada asusila, maka sanksi dan hukumannya berat. Diberhentikan. Itu sudah ada,” tambahnya.
Dia mengatakan, lima mahasiswi yang menjadi korban sekarang ini masih aktif kuliah, dan telah menempuh pendidikan semester lima, berjumlah empat orang. Satu orang korban lainnya semester tiga. Para korban ini tergolong mahasiswi berprestasi. “Kebetulan yang menjadi korban itu dapat beasiswa semua. Yang empat atlet, warga luar Kota Semarang,” bebernya. (mha/mg1/aro)