RADARSEMARANG.COM, Semarang – Kekerasan seksual bisa dialami siapa saja. Begitu pun pelakunya. Berdasarkan data LRC KJHAM Semarang, kasus kekerasan seksual mayoritas dialami perempuan dalam rumah tangga atau Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga (KDRT).
Pada tahun 2021, ada 31 orang perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh para suami. Kemudian disusul Kekerasan dalam Pacaran (KdP) sebanyak 18 kasus, pelecehan seksual 13 kasus, perkosaan 12 kasus, eksploitasi seksual 8 kasus, perbudakan seksual 6 kasus, prostitusi 3 kasus, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) 2 kasus, pemaksaan perkawinan 1 orang, dan trafficking 1 orang. Totalnya 95 kasus.
Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi Citra Ayu Kurniawati mengatakan, penyebab kekerasan seksual terjadi karena faktor menolelir budaya patriarki dan keterbukaan informasi yang tidak dibarengi dengan masifnya pencegahan kasus kekerasan seksual. “Karena adanya pemahaman ajaran agama yang keliru seperti mendiskriminasi perempuan,” katanya.
Citra mengatakan, dari jumlah kasus tersebut dilakukan oleh berbagai macam pelaku. Mulai dari dokter, PNS, dosen, pengacara, TNI, bahkan guru ngaji, dan pengasuh pondok. Ada pula buruh pabrik, sopir, penjual hingga pengamen. Dari kasus tersebut ada yang diselesaikan melalui jalur litigasi maupun non litigasi.
Ia menambahkan, banyak faktor yang membuat korban akhirnya tidak mau kasusnya diproses. Hal tersebut karena masih kuatnya stigma dari aparat penegak hukum (APH) yang akhirnya menimbulkan ketakutan. Ketakutan itu juga menjadi salah satu faktor korban tidak mau melaporkan kasusnya. Namun ada pula kasus yang sudah diproses, namun kasusnya mandeg.
Selain faktor di atas, kasus kekerasan seksual yang mandeg karena kurangnya alat bukti dan korban diminta mencari alat bukti sendiri. Padahal banyak korban yang mengalami keterbatasan terkait biaya, ataupun alat transportasi.
“Jadi kalau kasus tidak diproses ke hukum, hanya dilakukan konseling atau diberikan layanan sesuai kebutuhan korban, misal layanan medis, pemulihan psikologis di RSJD atau lainnya,” jelasnya.
Yang lebih miris, lanjutnya, ketika mendampingi korban kekerasan seksual penyandang disabilitas. Banyak yang kasusnya mandeg karena memang keterbatasan sumber daya manusia (SDM) seperti tidak ada penerjemah atau keterangan korban yang tidak dipercaya. Bahkan, ketika keterangan korban berubah karena korban yang merupakan disabilitas mental. (ifa/ida)