RADARSEMARANG.COM, Semarang – Dokter yang diduga mencampurkan –maaf—cairan sperma ke dalam makanan akhirnya berurusan dengan kepolisian. Pelaku berinisial dr DP telah menjalani pemeriksaan, dan ditetapkan sebagai tersangka atas pelaporan kasus tersebut di Polda Jawa Tengah. Diduga tersangka mengalami penyimpangan seksual. Sedangkan korban hingga kini mengalami trauma berat, gangguan makan, gangguan tidur, serta gangguan emosi.
“Tersangka dr DP sudah menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Jateng. Surat penyidikan dan penetapan tersangkanya sudah lengkap,” kata Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol M Iqbal Alqudusy kepada RADARSEMARANG.COM, Senin (13/9/2021).
Oknum dokter tersebut sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di salah satu universitas di Semarang. Kasus pelaporannya ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah. Infomasi yang diperoleh, pengaduan kasus ini pada Desember 2020, dan laporannya pada Maret 2021 lalu.
Iqbal menjelaskan, korban yang melapor merupakan istri dari teman seprofesi tersangka. Lokasi kejadiannya di rumah kontrakan DP, di wilayah Kecamatan Gajahmungkur.
“Kecurigaan pelapor bermula dari makanan yang sering berubah bentuk, dan tudung saji di atas meja yang sering berubah posisi,” jelasnya.
Merasa penasaran dan curiga, pelapor lantas merekam area meja makan menggunakan iPad miliknya. Pada rekaman iPad tersebut, diketahui saat pelapor mandi, DP tampak keluar dari kamar mandi lain, dan tiba-tiba melakukan onani. Setelah mencapai klimaks, tersangka mencampurkan spermanya ke dalam makanan korban yang ada di meja makan.
“Tersangka duduk di dekat tempat makan. Setelah itu, tersangka melakukan onani (masturbasi). Kemudian membuka tudung saji, dan mengadukkan spermanya ke dalam makanan milik pelapor,” bebernya.
Iqbal mengatakan, dinding antara kamar mandi yang digunakan pelapor dan tersangka terdapat lubang kecil. Tersangka diduga mengintip korban mandi dari lubang kecil itu sambil melakukan masturbasi. Informasi yang beredar, aksi tersebut dilakukan sejak Oktober 2020.
“Kejadian tersebut sudah dilakukan beberapa kali. Akibat perbuatannya, tersangka dijerat pasal 281 ayat (1) KUHP tentang kejahatan terhadap kesopanan,” katanya.
Legal Resource Center untuk Keadlian Jender dan HAM (LRCKJHAM) Semarang mendesak Polda Jateng untuk segera mempercepat proses penanganan kasus yang berkeadilan gender. Pendamping korban dari LRC-KJHAM, Nia Lisayati mengatakan, kejadian tersebut diduga dilakukan pelaku sejak Oktober 2020.
“Kami mendesak untuk dipercepat karena kasus ini urgent, salah satunya mengakibatkan korban trauma,” ujarnya kepada RADARSEMARANG.COM, Senin (13/9/2021).
Nia –sapaan akrabnya– menjelaskan, dampak dari tindakan tersebut, korban mengalami trauma berat, gangguan makan, gangguan tidur, serta gangguan emosi. Untuk menenangkan diri, korban harus mengonsumsi obat antidepresan yang diresepkan psikiatri sejak Desember 2020 hingga saat ini. Selain itu, korban juga harus melakukan pemeriksaan ke psikiatri, dan melakukan pemulihan psikologis ke psikolog.
Tak hanya itu, lanjut Nia, korban juga berisiko mengalami masalah kesehatan akibat mengonsumsi sperma yang tidak seharusnya dikonsumsi oleh manusia. Cairan sperma tersebut bisa mengandung bakteri ataupun virus yang suatu saat nanti bisa menjadi penyakit atau menjadi pencetus suatu penyakit.
“Saat ini, korban telah mendapatkan perlindungan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) berupa layanan pemenuhan hak prosedural, bantuan medis, rehabilitasi psikologis, dan fasilitasi restitusi,” tuturnya.
Ia menegaskan, tindakan pelaku merupakan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sebagaimana Rekomendasi Umum PBB Nomor 19 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Pelaku juga melanggar pasal 281 KUHP , dan telah melanggar Sumpah Dokter. Kendati sudah dilaporkan ke Polda Jateng dan bersiap dilimpahkan ke Kejati Jateng, Nia menyesalkan karena berkas dikembalikan oleh jaksa dua kali dengan alasan pelaku harus menjalani pemeriksaan kejiwaan.
Alasan ini dinilai tidak masuk akal. Menurutnya, pelaku tidak memiliki kelainan jiwa, sehingga harus menjalani pemeriksaan kejiwaan. “Pelaku itu seorang dokter, bahkan sudah berpraktik. Secara logika, dia sadar dengan perbuatannya. Jadi, tidak perlu diperiksa kejiwaan, tapi harus diproses secara hukum,” tegasnya.
Terpisah, Kabid Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Tengah Reni Yuniati mengatakan, saat ini IDI belum berani menjawab terkait kasus tersebut. Pihaknya belum mengetahui siapa pelaku, dan motif yang dilakukan.
“Kami belum melakukan investigasi atas berita yang saat ini muncul. Kami tahunya juga dari berita. Nanti ketua IDI akan menelusuri hal itu di Polda Jateng. Kalau sudah jelas semua akan kita sampaikan,” katanya. (mha/ida/aro)