RADARSEMARANG.COM, Semarang – Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di wilayah Jateng masih cukup tinggi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mencatat, hingga saat ini telah melakukan pendampingan hukum sebanyak 45 kasus. Sementara angka pengaduan HAM dari masyarakat ada 55 kasus.
Direktur LBH Semarang Eti Oktaviani merinci, kasus pelanggaran tersebut meliputi bidang agraria sebanyak 5 kasus, lingkungan 10 kasus, buruh 9 kasus, kebebasan berpendapat atau berserikat 6 kasus, kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) 1 kasus, kekerasan seksual 3 kasus, miskin kota 8 kasus, dan nelayan 3 tiga kasus.”Angka ini berdasarkan jumlah kasus yang kami dampingi dan monitoring media yang kami lakukan,” katanya pada RADARSEMARANG.COM, Senin (28/6/2021).
Pelanggaran tersebut tersebar di berbagai daerah di Jateng. Seperti, Pati, Grobogan, Demak, Semarang, Kabupaten Semarang, Kendal, dan Jepara.
Pendampingan pelanggaran HAM tersebut dilakukan melalui tahap litigasi baik di pengadilan tingkat 1, 2, hingga Mahkamah Agung (MA). Selain itu, dilakukan melalui nonlitigasi, seperti pelaporan ke lembaga negara, pengorganisasian, pelaporan ke lembaga internasional, dan lain-lain.
Eti -sapaan akrabnya- menambahkan, pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi salah satu kasus yang cukup tinggi. Ia mencontohkan, setiap ada mahasiswa Papua akan melakukan aksi, selalu ada kasus represi. Tidak hanya itu, diskusi-diskusi yang beberapa kali dilakukan juga coba diberangus. “Yang terbaru pada saat nonton bareng (nobar) ‘Endgame KPK’, di kantor LBH Semarang. Dibubarkan paksa dengan alasan Covid-19,” jelasnya.
Padahal, lanjutnya, jika alasannya karena pandemi Covid-19, penerapan protokol kesehatan sudah cukup tanpa harus memaksa menghentikan proses nobar dan diskusi yang sedang berlangsung. Artinya, peran negara dalam hal ini sangat krusial. Baik sebagai aktor pelanggar maupun entitas yang memastikan HAM dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Ia menilai, kondisi HAM saat ini sama buruknya dengan tahun-tahun sebelumnya. Meski tahun ini masih ada pandemi, nyatanya tidak bisa dijadikan alasan oleh negara untuk melakukan pelanggaran maupun menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang sebelumnya terjadi.
Eti mencontohkan, kasus pencemaran lingkungan oleh PT RUM di Sukoharjo sampai saat ini masih terjadi. Kasus ini sudah terjadi sejak empat tahun lalu. Perusahaan tersebut mencemari udara dengan bau busuk sehingga masyarakat kesulitan bernafas. Berbagai upaya telah dilakukan seperti audiensi dengan pemerintah kabupaten.
“Pemkab berjanji akan membentuk tim investigasi. Namun sampai hari ini belum ada. Pelaporan ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan juga sudah dilakukan,” tegasnya.
Tidak hanya pelanggaran HAM, lanjutnya, kondisi demokrasi juga memburuk. Akibatnya, pendampingan kasus meningkat seiring pelanggaran bertambahnya kasus HAM. “Jika negara benar-benar serius, harusnya tidak ada peningkatan kasus. Tapi yang terjadi kan sebaliknya,” kritiknya. (ifa/ida)