RADARSEMARANG.COM, Semarang – Putut Sutopo, sudah memiliki bukti berkekuatan hukum atas kepemilikan lahan di Karangjangkang, Kelurahan Ngemplak Simongan RT 3 RW 4 Kota Semarang. Namun 64 warga yang menempati lahan seluas 8.200 meter persegi ini, belum juga mau pindah. Putut pun wadul ke DPRD Kota Semarang, kemarin.
Melalui kuasa hukumnya, yakni Budi Kiyatno pun menyampaikan surat kepada Komisi C dan pimpinan DPRD Kota Semarang terkait fakta di lapangan. “Kami tadi menyampaikan surat dan klarifikasi tentang adanya pemberitaan yang tidak sesuai fakta. Kami merangkumnya dalam surat ini dan menyerahkannya kepada wakil rakyat,” kata Budi Kiyatno usai menemui Ketua Komisi C DPRD Kota Semarang, HM Rukiyanto, kemarin.
Pihaknya merasa dirugikan dengan banyaknya pemberitaan simpangsiur tanpa klarifikasi. Apalagi pihaknya dituding menjarah tanah. Padahal secara hukum, ia telah memenangkan di pengadilan PTUN yang meminta agar BPN mengukur dan menerbitkan sertifikat. “Secara hukum, proses peradilan di PTUN meminta agar BPN mengukur dan menertbitkan sertifikat,” tambahnya,
Ada beberapa hal yang disoroti, lanjut Budi, sertifikat HGB atas nama PT Perusahaan Dagang dan Perindustrian sudah berakhir 10 November 1995 lalu. Kini telah dilakukan upaya pengurusan perpanjangan sekaligus menjual tanah tersebut kepada pihak Tjahjadi dkk pada tahun 1997. Kemudian menjual kembali kepada PT Panca Tunggal tahun 2009.
“Artinya, tanah ini meskipun sudah berakhir haknya tahun 1995, namun masih dimiliki dan dikuasai serta diperjualbelikan oleh pemilik Tjahjadi. Bahkan diterbitkan sertifikatnya atas nama PT Panca Tunggal,” bebernya.
Sementara 64 warga senyatanya mereka baru menguasai dan menempati tanah tersebut saat reformasi tahun 1998. Menurut Budi, Putut Sutopo sebagai pemilik lahan telah memenangkan putusan pengadilan dari PTUN serta memiliki bukti kepemilikan, bukti-bukti pendukung lainnya seperti akte jual beli pernotarial akte, peta bidang yang telah diterbitkan oleh BPN secara sah.
“Warga ini tidak bisa sesuka hatinya mengusai tanah orang lain, karena melawan hukum. Bahkan bisa disebut penjarah tanah-tanah negara hingga mereka meminta perlindungan hukum dengan alasan kemanusiaan, jelas sangat bertentangan dengan azas kepatutan,” tudingnya.
Budi mengaku pihaknya telah berkali-kali melakukan mediasi dengan warga, sayangnya tidak ada niat baik dari warga untuk pergi. Padahal kliennya bersedia memberi uang tali asih untuk ganti untung bangunan yang mereka tempati.
“Kami sudah berkali-kali melakukan mediasi dengan warga. Bahkan dibantu mediasi dengan Satpol PP dengan Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Semarang,” ujarnya.
Saat ini, Distaru telah menerbitkan surat peringatan (SP) satu dan dua untuk perintah peringatan dan pengosongan lahan kepada warga. Berarti, bangunan yang ditempati warga dianggap tidak sah atau tidak memiliki izin. “Distaru juga sudah memberi kesempatan warga untuk menerbitkan IMB, tapi tidak bisa terbit. Kelurahan tidak berani menerbitkan surat keterangan tidak sengketa,” tambahnya.
Ia menilai jika kasus di Karangjangkang ini sama dengan kasus Cebolok. Mereka tetap mengaku-aku tanah yang mereka tempati miliknya. Dari total 64 warga, kata dia, ada 12 warga yang setuju dan mau menerima tali asih dengan nominal bervariasi dari Rp 30 juta hingga Rp 35 juta. “Sisanya tidak mau, karena merasa memiliki lahan itu. Ini tandanya mereka melawan hukum,” pungkasnya. (den/ida)