RADARSEMARANG.COM, Semarang – Mendapatkan asimilasi alias pembebasan bersyarat dari penjara akibat pandemi Covid-19, harusnya dipakai bertobat. Namun sejumlah mantan narapidana justru kembali berbuat kejahatan. Mereka tidak kapok. Padahal di Jateng, terdapat 2.000 lebih narapidana yang menghuni sejumlah rumah tahanan dibebaskan. Mereka yang dibebaskan merupakan narapidana tindak pidana umum yang telah memenuhi persyaratan tertentu.
FAJAR Christanto, 24, baru dibebaskan dari Lapas Nusakambangan pada 4 April 2020 lalu. Namun selang tiga hari menghirup udara segar, tepatnya 7 April 2020, warga Jalan Banowati Tengah II Kelurahan Bulu Lor, Semarang Utara ini kembali berulah. Ia harus kembali berurusan dengan pihak berwajib. Fajar kembali ditangkap Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang karena kedapatan sedang transaksi narkoba.
Fajar diringkus bersama rekannya, Riyan Maulana, 22, warga Jalan Pergiwati, Kelurahan Bulu Lor, Semarang Utara. Keduanya disergap saat hendak melakukan transaksi narkoba di depan SPBU Madukoro Jalan Jenderal Sudirman Semarang Barat, Selasa (7/4/2020) sekitar pukul 16.00 lalu.
Kanit Idik I Satresnarkoba Polrestabes Semarang AKP Eny Suprapti menjelaskan, kedua tersangka sama-sama residivis. Riyan sudah keluar dari penjara cukup lama. Sedangkan Fajar sempat menjalani hukuman tujuh bulan di Lapas Nusakambangan Cilacap, dan akhirnya dibebaskan bersyarat akibat pandemi Covid-19 pada 4 April lalu. “Dia itu masih dalam pengawasan,” katanya.
Dikutip dari laman humas.polri.go.id, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Argo Yuwono mengatakan, ada 13 napi melakukan kejahatan kembali setelah mendapatkan asimilasi. Mereka tersebar di beberapa daerah. “Ada 36 ribu napi yang mendapatkan asimilasi, dan dari catatan kami ada 13 napi yang kembali melakukan tindak kejahatan,” ujar Karo Penmas kepada wartawan melalui video conference, Jumat (17/4/2020) lalu.
Melihat fenomena ini, Polda Jawa Tengah memberikan ultimatum tegas. Napi yang mendapat asimilasi atau Pembebasan Bersyarat (PB) dan kembali melakukan tindak kejahatan, akan ditindak tegas dengan tembak di tempat.
“Ya, kalau mereka sudah berulang kali dan keluar masuk penjara, apabila melakukan tindakan kejahatan dengan membawa senjata tajam dan melukai masyarakat ya kita lakukan tembak di tempat,” tegas Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Iskandar Fitriana Sutisna kepada RADARSEMARANG.COM, kemarin.
Iskandar mengatakan, kepolisian akan terus melakukan patroli terhadap wilayah hukum masing-masing untuk menjaga situasi Kamtibmas. Termasuk, kepolisian akan terus melakukan pengawasan terhadap para napi setelah keluar dari penjara.
“Napi asimilasi itu terus kita awasi. Baik oleh Babinkamtibmas, Polsek, Polres maupun intelijen. Kalau mereka melakukan kejahatan atau tindak pidana lagi ya kita ambil tindakan tegas. Kita proses sesuai hukum yang berlaku,” katanya.
Pihaknya mengakui, ada sejumlah napi asimilasi yang kembali melakukan kejahatan dan berhasil ditangkap. Ia menyebutkan ada enam wilayah di Jateng yang berhasil mengungkap kasus yang melibatkan napi asimilasi. Iskandar menyebutkan, enam wilayah yang dimaksud adalah Polresta Surakarta, Polres Sukoharjo, Polres Sragen, Polres Jepara, Polrestabes Semarang dan Polres Banyumas. “Di Kota Semarang ada napi asimilasi yang kembali terlibat jual beli narkoba dan berhasil diungkap aparat Polrestabes Semarang,” ungkapnya.
Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan (Bimkemasy) Ari Tris Ochtia Sari melalui stafnya Fajar Sodiq mengatakan, warga binaan pemasyarakatan yang mendapatkan asimilasi dan integrasi di tengah pandemi Covid-19 di Lapas Kedungpane Semarang sampai saat ini ada 170 orang. Data sampai akhir tahun ini, ada sekitar 250 orang yang sudah memenuhi syarat. “Dengan demikian, akan ada 80 warga binaan lagi yang akan bebas, karena asimilasi menunggu 1/2 masa pidana,”kata Fajar Sodiq, Minggu (19/4/2020).
“Jika berulah lagi, warga binaan asimilasi dimasukkan ke straft cell (sel pengasingan). Saat selesai masa pidananya, diserahkan ke polisi untuk diproses tindak pidana yang baru,” tandasnya.
Sementara kriminolog Unversitas Diponegoro (Undip) Budi Wicaksono menilai, pembebasan napi dengan pertimbangan HAM dan dalam keadaan mendesak agar tidak tertular Covid-19, ada baiknya. Namun, seharusnya diawasi secara ketat.
“Ada janji pemerintah ketika kembali melakukan kejahatan langsung ditangkap. Tapi kok kian merajalela,” ujarnya prihatin.
Ia menyampaikan, ada sejumlah faktor yang mendorong narapidana kembali melakukan tindak kriminal. Di antaranya adalah asimilasi dan integrasi kepada narapidana diberikan dalam kondisi ketika Covid-19 membuat ekonomi hancur.
“Mereka ini memang tidak mutlak, mempunyai perilaku menyimpang di antara masyarakat umum. Mereka memiliki keberanian dalam melakukan tindakan dengan jalan pintas, tidak memperhitungkan bahwa itu merugikan orang lain,” katanya.
Ditambah lagi, polisi sekarang lebih banyak dikerahkan untuk menangani Covid-19 dalam penjagaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Hal ini menjadi celah melakukan aksi kejahatan. Ia menilai sekarang ini sebagai kondisi yang betul-betul repot. Hingga memunculkan napi yang kembali melakukan kejahatan.
Selain pengawasan ketat polisi, menurutnya, anggota keluarga juga harus turut memantau mantan napi. Hanya saja, diakuinya, tidak begitu efektif. “Mengawasi bagaimana? Karena kita juga harus tinggal di rumah. Ini memang kondisi yang sulit. Ini betul-betul sulit,” tegasnya.
Kembalinya napi melakukan tindak kriminal boleh jadi diakibatkan proses pemasyarakatan yang belum selesai. Dari sisi kebijakan, Antropolog Universitas Negeri Semarang (Unnes) Kuncoro Bayu Prasetyo melihatnya sebagai kebijakan simalakama.
”Ketika mereka masih di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) tujuannya adalah memasyarakatkan kembali. Mengenalkan nilai sosial kembali. Karena kondisi darurat, mereka yang belum selesai menjalani proses ini terpaksa dibebaskan,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.
Terlebih, ia katakan, mereka dibebaskan dalam situasi yang serbasulit seperti saat ini. Faktanya kondisi ekonomi sangat memengaruhi, termasuk bagi mereka yang saat ini memiliki pekerjaan pun banyak yang mengalami kesulitan.
”Sementara mereka (napi asimilasi, red) masih nol. Situasi ini mendorong beberapa dari mereka untuk tidak punya pilihan, selain kembali kembali ke masa lalu (berbuat kejahatan, Red),” ujarnya.
Menurut dia, perlu ada evaluasi seandainya akan ada pembebasan gelombang selanjutnya. Dapat dilakukan kerja sama dengan tokoh masyarakat untuk turut melakukan pengawasan ketika mantan napi kembali ke masyarakat.
”Jadi ketika mereka keluar ada yang nampani. Sehingga ada tanggung jawab moral kepada yang nampani tersebut,” katanya.
Bayu menilai, peringataan keras dapat menjadi cara untuk mencegah tindak kriminal terulang kembali. Hanya saja, harus tersampaikan dengan baik kepada para napi.
”Ini menjadi semacam shock teraphy. Selain itu, perlu dipikirkan juga agar mereka mendapat jaring pengaman sosial di masa krisis ini,” usulnya. (mha/jks/sga/aro/bas)