33 C
Semarang
Thursday, 19 December 2024

Berhubungan Suami Istri saat Haid Sudah Berhenti, Tapi Belum Mandi Wajib

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Melakukan persetubuhan atau jima’ antara suami dan istri merupakan salah satu ibadah dalam pernikahan. Hubungan biologis atau persetubuhan dalam naungan ikatan pernikahan memiliki nilai pahala yang banyak, sebagaimana ia memiliki nilai dosa besar jika dilakukan di luar pernikahan, seperti diriwayatkan:

يا رَسُولَ اللهِ، أيَأْتِي أحَدُنا شَهْوَتَهُ ويَكُونُ لَهُ فِيها أجْرٌ؟ قال: «أرَأيتُمْ لَوْ وضَعَها فِي حَرامٍ أكانَ عَلَيهِ فِيها وزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إذا وضَعَها فِي الحَلالِ كانَ لَهُ أجْرًا

Artinya, “Wahai Rasulullah, apakah ketika kita melampiaskan sahwatnya (jima’) ada nilai pahala?” Rasullah menjawab: “Bukankah kalian tahu, jika syahwat tersebut diletakan dalam keharaman (zina) mendapatkan dosa? Begitu pula jika syahwat dilampiaskan dengan jalan halal, maka akan mendapatkan pahala.” (HR Muslim).

Menurut Syaikh Muhamad Amin Al-Harari, persetubuhan dapat bernilai ibadah jika dilandasi oleh niat yang baik. seperti tujuan memenuhi hak istri, memperoleh anak yang saleh, menjaga diri dari syahwat yang haram, dan semisalnya.

    فالجماع يكون عبادة إذا نوى به قضاء حق الزوجة ومعاشرتها بالمعروف الذي أمر الله تعالى به أو طلب ولد صالح أو إعفاف نفسه أو إعفاف الزوجة ومنعهما جميعًا من النظر إلى حرام أو الفكر فيه أو الهم به أو غير ذلك من المقاصد الصالحة

Artinya, “Jima’ dapat bernilai ibadah jika diniati memberikan hak istri, menggauili istri dengan baik seperti yang diperintahkan Allah Swt., mencari anak solih, menghindari perbuatan zina dan tujuan-tujuan baik lainya.” (Muhamad Amin al-Harari, al-Kaukab al-Wahhaj, juz XXII, halaman 31).

Namun pahala besar dalam jimak ini akan berubah menjadi dosa besar jika dilakukan tidak tepat waktunya. Yaitu ketika hubungan badan tersebut dilakukan saat sang istri dalam keadaan haid, sebagaimana yang disampaikan Imam An-Nawawi:

أنَّ الشّافِعِيَّ رحمه الله تَعالى قالَ: الوَطْءُ فِي الحَيْضِ كَبِيرَةٌ

Artinya, “Sesungguhnya Imam Syafi’i berkata: “Menyetubuhi istri dalam keadaan haid adalah dosa besar.” (An-Nawawi, Raudhatuth Thalibin, juz XI, halaman 233).

Tidak hanya dilarang oleh syariat, berhubungan badan dalam keadaan haid juga berdampak negatif kepada anak yang kelak akan dilahirkan.

ذَكَرُوا أنَّ الجِماعَ فِي الحَيْضِ يُورِثُ عِلَّةً مُؤْلِمَةً جِدًّا لِلْمُجامِعِ وجُذامَ الوَلَدِ

Artinya, “Ulama mengatakan bahwa jimak dalam keadaan haid dapat menyebabkan rasa sakit bagi pelakunya dan penyakit kusta bagi anak yang kelak dilahirkan.” (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfahul Muhtaj, juz I, halaman 393).

Lantas sampai kapan larangan bersetubuh bagi perempuan haid tersebut berakhir? Apakah ketika darah telah berhenti? Ataukah harus setelah mandi besar baru diperbolehkan bersetubuh?

Imam Syamsyudin ar-Ramli dalam kitab Nihayahul Muhtaj menjelasakan bahwa ketika darah haid telah berhenti namun belum bersuci, maka tidak halal bagi perempuan kecuali ibadah puasa. Karena dalam kondisi seperti ini perempuan seperti laki-laki junub yang diperbolehkan puasa.

فَإذا انْقَطَعَ) دَمُ الحَيْضِ فِي زَمَنِ إمْكانِهِ ومِثْلُهُ النِّفاسُ (لَمْ يَحِلَّ قَبْلَ الغُسْلِ) أيْ أوْ التَّيَمُّمِ (غَيْرُ الصَّوْمِ) لِأنَّ الحَيْضَ قَدْ زالَ وصارَتْ كالجُنُبِ وصَوْمُهُ صَحِيحٌ بِالإجْماعِ

Artinya, “Ketika telah berhenti darah haid atau nifas namun belum bersuci, tidak halal bagi perempuan kecuali ibadah puasa.” (Syamsyudin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz I, halaman 333).

Penjelasan Imam ar-Ramli di atas menunjukan bahwa larangan-larangan dalam haid belum berakhir meskipun darah telah berhenti, termasuk larangan bersetubuh bagi suami ataupun istri. Larangan tersebut ditegaskan kembali oleh Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’:

وإذا طَهُرَتْ مِن الحَيْض حَلَّ لَها الصَّوْمُ لِأنَّ تَحْرِيمَهُ بِالحَيْضِ وقَدْ زالَ… ولا يَحِلُّ الِاسْتِمْتاعُ بِها حَتّى تَغْتَسِلَ

Artinya, “Ketika perempuan telah selesai dari haid, halal baginya ibadah puasa. Karena keharaman puasa hilang besertaan hilangnya darah haid… Namun tidak halal bagi suami melakukan hubungan badan dengan istri sampai istri melakukan mandi besar.” (An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, juz II, halaman 366).

Dalil yang mendasari hukum di atas firman Allah:

ولا تَقْرَبُوهُنَّ حَتّى يَطْهُرْنَ فَإذا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِن حَيْثُ أمَرَكُمُ اللَّهُ

Artinya, “Jangan kalian mendekati (menyetubuhi) perempuan yang haid hingga mereka telah bersuci. Jika telah bersuci, maka datangilah mereka sesuai dengan jalan yang diperintahkan Allah.”  (QS al-Baqarah: 222).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa haram bagi pasangan suami istri melakukan hubungan badan saat darah haid telah berhenti, namun belum melaksanakan mandi besar. Setelah melaksanakan mandi besar, maka semua larangan bagi orang haid pun telah selesai.

Sudah seyogyanya pasangan suami istri permasalahan harian keluaganya agar pernikahan yang merupakan ladang pahala tidak menjadi sumber dosa baginya. Wallahu a’lam.  (Ustadz M Intihaul Fudola Toha, Pengurus LBM Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri, NU Online/bas)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya