26.9 C
Semarang
Saturday, 23 August 2025

Pernah Disepelekan, Burung Finch Kini Dikenal hingga Malaysia dan Thailand

Mengais Cuan dari Burung Emprit

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Burung emprit atau finch kerap dianggap hama sawah dan burung tak berharga. Meski begitu, sekarang ada komunitas penghobi jenis emprit hias dengan warna bulu beragam.

Sekarang ada kontes emprit. Tentu saja menaikkan harga jual ratusan ribu rupiah hingga jutaan. Persilangan antarjenis emprit menghasilkan anakan dengan warna bulu yang indah, bisa memiliki harga jual tinggi.

Sofyan Niti Negoro awalnya dipandang sepele oleh beberapa orang lantaran memelihara dan membudidayakan Zebra Finch (Taeniopygia Guttata Castanotis) atau dikenal burung Pipit Zebra.

Namun ia paham betul burung itu punya pasar tersendiri dan elit. Sepuluh tahun berkecimpung ia berhasil melakukan mutasi hingga proses keempat hingga sering menang kontes. Dari situlah ia meraup puluhan juta.

Burung mungil itu tampak cantik. Terutama perpaduan warna bulunya. Berpindah kesana kemari. Kepalanya celingukan ke kanan dan kiri. Sungguh menggemaskan.

Sekitar 35 pasang tertata rapi dalam kurungan cantik di ruangan tertutup. Bersuara saling bersahutan. Mirip suara bebek dengan akhiran seperti piring kesat usai dicuci yang digesekkan dengan jari. Cit cit cit…., bip bip bip….., wek wek wek…..

Mereka kompak. Salah satu berkicau lainnya ikut nimbrung. Tanpa berpose menggoda, mereka pun sudah terlihat seksi. Indah bulunya sudah tak diragukan lagi.

Mereka mematuk biji milet dan jemawut dengan paruh tebal nan pendek. Semuanya memiliki cincin yang diberikan sebagai tanda dari sang empunya. “Ini semua adalah hasil mutasi genetik melalui perkawinan silang (cross breeding) dari satu jenis burung yaitu Zebra Finch,” kata Sofyan Niti Negoro kepada RADARSEMARANG.COM.

Pria yang tinggal di Dusun Ketaron, Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, itu sudah 10 tahun lebih menekuni budidaya Zebra Finch. Ia pernah disepelekan karena memelihara burung yang kicauannya jelek. Namun ia paham betul bahwa burung Pipit Zebra dilahirkan bukan untuk kontes menyanyi. Namun untuk kontes kecantikan melalui proses mutasi ke mutasi.

Bisa dikatakan, di Kabupaten Magelang dirinya yang paling besar. Sudah beragam mutasi yang dihasilkan. Saat ini terjauh hingga mutasi keempat. Bahkan sudah dibidik dan ditawar oleh peminat dengan harga Rp 37 juta. “Ini hasil mutasi keempat (puncaknya). Warnanya full black dan full orange,” ucap pria yang akrab disapa Sofyan itu.

Ia juga kerap mengikuti kontes ke berbagai kota. Mulai dari Jakarta, Bandung, Solo, Jogjakarta, hingga Surabaya. “Di Jakarta pernah menjadi best champion. Terakhir di Sleman City Hall juara 1,” tuturnya. Ia mengaku, biasanya kalau juara kontes bisa dibanderol hingga Rp 85 juta.

Sementara, harga yang paling murah yang ia jual mulai dari Rp 350 ribu. Bisa mendapatkan satu pasang jenis mutasi dengan warna dasar. Yakni normal grey, fawn, dan black, yang masih berumur empat hingga lima bulan. Selain itu, ada kisaran harga Rp 500-800 ribu dengan warna orange atau black di punggungnya. “Harga dipengaruhi oleh size dan jenis mutasi. Kalau ukuran semakin besar dan mutasinya banyak, maka lebih mahal,” ujarnya.

Sejauh ini, kata dia, di Indonesia hanya bisa sampai empat mutasi. Ia juga menunjukkan hasil mutasi keempat dengan warna padat (ngeblok) full orange dan full black. “Lamanya ini (mutasi keempat) lima tahun. Kalau dikawinkan lagi belum tentu sama dengan indukannya. Bisa saja kembali ke mutasi dasar atau double mutasi,” terang Sofyan.

Meski tergolong burung show kecantikan, namun perawatannya cukup mudah. Yaitu dengan menjaga pola makan, lingkungan yang nyaman, dan gizi yang cukup. Biasanya setiap hari minuman selalu ganti. Diberikan suplemen atau vitamin untuk menjaga kondisi stamina. Isi ulang pakan 3 sampai 4 hari sekali. Kandangnya juga tidak harus boks, bisa seperti kandang Lovebird. “Sebenarnya mudah asal teliti dan telaten. Ada juga jenis lain Gould Amadin, tapi rentan dengan cuaca sehingga mudah ngedrop. Lebih tangguh Zebra Finch,” jelasnya.

Berdasarkan pengalamannya, orang akan mencari jenis mutasi yang langka. Selain memiliki keunikan, juga tidak banyak orang mempunyai. Sehingga punya kebanggaan dalam koleksinya. “Saat ini yang dicari kebanyakan warna pastel atau tompel putih,” tuturnya.

Hasil mutasinya pun dikenal hingga ke Malaysia dan Thailand. Namun karena terkendala pengiriman dan transportasi, dan surat izin permintaannya tidak bisa dipenuhi. “Karena minimal satu boks isinya 50 pasang. Jadi belum mampu,” ucapnya. Kendati demikian ia sudah sering mengirim hasil mutasinya ke Aceh, Medan, dan kota-kota besar di Jawa.

Ia mendapatkan indukan dengan cara impor dari Jerman, Italia, dan Belanda, melalui koneksi khusus komunitasnya. Awalnya hanya 5-7 pasang belajar dari jenis-jenis yang mudah. Kemudian ketika sudah menguasai, bermain ke mutasi.

Pemasaran ke Medan, Aceh, Jakarta, dan bandung sering. Sebenarnya Malaysia dan Thailand sudah ada permintaan, tapi kendalanya pengirimannya. Transportasi harus resmi pakai surat izin. Belumnya pernah mengirimkan, tapi minimal 1 boks 50 ekor. “Belum mampu. Orang luar negeri juga minta yang berkualitas,” tandasnya.

Meski saat ini punya puluhan pasang, tak sedikit Sofyan menjumpai kegagalan. Sebab tidak semua telur berisi dan menetas. Sehingga tidak bisa ditargetkan atau dikalkulasi secara pasti. “Perkiraan pahitnya, 20 ekor per sapihan setiap bulannya. Kan ada 35 pasang, ada yang 3 ada yang 2 per pasang,” jelasnya.

Perasaan girang tatkala harga pasaran berlaku dan memiliki stok banyak di kandang. Dan akan menelan pil pahit jika harga pasar turun, sementara harga pakan naik. “Pakannya impor belum ada di Indonesia. Ada tiga macam millet putih, kenari seed, dan jemawut. Kalau masih anakan pakai telur rebus bisa,” pungkasnya. (mia/ida)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya