RADARSEMARANG.COM – Pengambilan darah pada kucing gampang-gampang susah. Karena tingkahnya yang lebih aktif, kucing perlu dibius. Proses pengambilan darahnya juga harus dilakukan dengan hati-hati karena ukuran pembuluh darahnya kecil.
Igor tampak pulas siang itu (22/2). Tubuhnya lemah, terbaring di meja praktik laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (FKH UWKS). Beberapa dokter hewan memegangi tubuh kucing jantan itu seusai dibius. Bulu-bulu di sekitar tangan dan lehernya dicukur bapak dan ibu dokter. ’’Ini dilakukan untuk memudahkan proses pengambilan darah,” kata drh Victor Yulius Sulangi.
Igor tak sendiri, ia menjadi pendonor darah bersama Anya dan Alea. Ketiganya adalah kucing milik Victor. Kala itu, Victor membawa ketiga kucingnya untuk mendonorkan darah sekaligus mengikuti workshop transfusi darah pada hewan.
Igor, Anya, maupun Alea sama-sama lemas selama prosesi pengambilan darah berlangsung. Sebelum donor, tiga kucing tersebut berpuasa 8-12 jam. Kucing-kucing itu diberi suntikan obat penenang sebelum mendonorkan darah.
Bius tersebut diberikan bukan tanpa sebab. Menurut Victor, kucing biasanya lebih aktif secara fisik ketimbang anjing. Karena itu, ketika hendak dilakukan transfusi darah, kucing cenderung mengelak dan bersikap tidak tenang, beda dengan anjing yang lebih penurut. ’’Kalau anjing, biasanya dipegangi satu orang pun sudah tenang. Kecuali kalau masih tidak tenang, boleh kita beri obat bius juga,” ungkap Victor.
Dokter hewan yang bekerja di K and P Clinic Surabaya itu mengungkapkan, puasa yang dilakukan Igor, Anya, dan Alea bertujuan mencegah muntah setelah kucing-kucing tersebut dibius. Sebab, obat bius biasanya memberikan efek muntah. Puasa dilakukan untuk mengurangi efek samping muntah itu. Juga, untuk menghindari kemungkinan kematian akibat muntah.
’’Yang bahaya itu kalau kucing sudah mau muntah, tapi tidak jadi dan makanan yang mau dimuntahkannya ditelan lagi. Kalau itu masuk ke saluran pernapasan, bisa terjadi kematian,” jelas Victor.
Drh Palestin MImun, panitia workshop transfusi darah di UWKS, menuturkan, proses transfusi darah pada kucing memang lebih rumit daripada anjing. Sebab, ukuran pembuluh darahnya jauh lebih kecil. Dokter pun harus sangat berhati-hati saat melakukan proses transfusi darah.
Igor, Anya, dan Alea tergolong kucing yang sehat. Ketiganya rutin mendapatkan vaksin, obat tetes kutu, obat cacing, serta menjalani general checkup tiap tahun atau kadang tiap enam bulan. Ketiganya juga merupakan kucing yang sangat terpelihara dan hidup di dalam ruangan (indoor life). Igor, Anya, dan Alea telah memenuhi syarat-syarat menjadi pendonor darah.
’’Hewan liar tidak cocok menjadi donor. Sebab, kita kan tidak tahu apakah ada parasit atau penyakit lain,” tutur Palestin. Syarat lain untuk menjadi pendonor adalah kucing betina tidak sedang bunting.
Darah yang sudah didonorkan biasanya disimpan dalam kulkas bersuhu 2-8 derajat Celsius. Stok darah itu diperlukan untuk kucing yang mengalami pendarahan, baik karena kecelakaan maupun operasi. Atau, untuk kucing yang sedang sakit, misalnya mengalami autoimun atau anemia berat.
Sebelum darah diterima kucing resipien, harus dilakukan pencocokan golongan darah antara darah resipien dan darah si pendonor. Kemudian, kondisi sel darah merah dan plasma darah kedua kucing juga harus benar-benar cocok.
Di Indonesia belum ada bank darah hewan (animal blood bank). Dengan begitu, ketika ada hewan yang membutuhkan transfusi darah, pemilik harus datang ke klinik hewan untuk meminta transfusi darah. Biasanya klinik-klinik hewan mempunyai kucing-kucing yang bisa menjadi pendonor darah.
Solusi lain adalah pemilik hewan juga bisa mencari donor dari keluarga kucing yang sedang membutuhkan transfusi. Bisa dari induknya atau saudaranya. Atau bisa juga dari kucing lain yang tinggal serumah dengan kucing tersebut meski tak memiliki hubungan sedarah. ’’Kalau masih tidak ada, bisa cari bantuan lewat komunitas animal lover. Kan biasanya ada grup pemelihara kucing di WhatsApp atau media sosial lainnya,” jelas Palestin. (rin/c7/tia)