RADARSEMARANG.COM – Demi mempertahankan pasangan keren yang bisa diajak narsis di sosial media (sosmed), pamer keuwuan (uwu=unhappy without u), gemoy (gemes maksimal), biar tidak dianggap cupu (culun punya) dan berdalih atas nama cinta, rela menjalani pacaran penuh kekerasan atau toxic relationship.
Potret kemesraan berpacaran pasangan muda-mudi yang terdokumentasi dalam instastory (Instagram Story), kerap membuat jiwa para jomblo meronta-ronta. Sebagaimana instastory maupun feed instagram milik I, 23, mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta ini mengabadikan kejuatan indah dari kekasihnya saat anniversary hubungannya dengan ucapan dan hujan balon begitu masuk ke dalam mobil. “Romantis sekali…. Jiwa jombloku meronta-ronta,” keluh Kaela menanggapi feed instagram I tersebut.
Apalagi pesona fisik I, terbilang enak dipandang. Gambaran foto dan video yang diunggah, menunjukkan sang cowok terkesan manly. Apalagi kerap mengabadikan hari-harinya yang penuh suka cita, berlibur ke berbagai tempat wisata. Gambaran pasangan idaman yang serasi dan penuh pesona. Tapi seperti kata pepatah, hidup itu dilengkapi hal yang serba dualistik. Ada manis ada pahit, ada senang ada duka, ada kebahagiaan ada penderitaan. Menjalin hubungan tak selalu manis. Terkadang pertikaian kecil justru kerap memicu tindak kekerasan dalam sebuah hubungan. Ini yang sering disebut Toxic Relationship.
I hampir dua tahun lamanya menjalin hubungan penuh pesona, tapi penuh penderitaan dan kekerasan fisik dengan sang kekasih. Dia kini bersyukur, bisa mengambil keputusan memilih menyudahinya sebagai pasangan kekasih.
I mengaku kekerasan itu ia alami setelah empat bulan menjalin hubungan bersama. Sang mantan cenderung protektif dan kerap mengekangnya. Dirinya tidak diperbolehkan hangout dengan teman, mengikuti organisasi, bahkan dilarang berteman dengan lawan jenis. Selain itu, setiap ada suatu kesalahpahaman, sering berujung pertengkaran.
Pada awalnya hanya bertengkar secara verbal, seperti membentak dengan kata-kata kasar, atau mengumpat. Lama-lama sang kekasih berperilaku kasar, memukul, menjambak, bahkan meludahinya. Tak jarang I juga dilempar dengan suatu benda, seperti handphone, dan lainnya.
“Kali pertama main fisik itu saat dia menemukan foto mantanku di HP. Dia mencekik leherku. Aku kira dia kesurupan, jadi aku memakluminya. Ternyata sikap kasarnya semakin menjadi-jadi di kemudian hari,” ujarnya
Meski kerap mengalami kekerasan, I terus memaklumi dan memaafkan sang kekasih kala itu. “Setelah bertengkar dan main fisik, aku selalu minta putus. Tapi dia selalu memohon-mohon untuk dimaafkan. Terkadang ibunya yang memohon kepadaku untuk memaafkannya. Akupun luluh, apalagi dia membawakanku seikat bunga pada keesokan harinya,” terangnya.
Ia sadar, sikap kekasihnya kala itu membuatnya tertekan lantaran terlalu mengontrol hidupnya. Namun, ia mengaku nyaman dalam menjalani hubungan tersebut. “Alam bawah sadarku mengatakan ingin keluar dari hubungan ini, tapi di sisi lain aku merasa nggak bisa jauh dari dia. Kalau putus nanti aku gimana? Bisa nggak hidup tanpa dia?” ungkapnya. Segala pengekangan itu membuat I jadi tak memiliki teman, cenderung overthinking, stres, hingga mengalami penurunan berat badan secara drastis.
Kasus serupa juga dialami, S, 21. Laki-laki yang kerap mengabadikan kemesraannya dengan sang kekasih di instastory dan feed instagram ini, pernah ditendang oleh sang kekasih. Tindakan penganiayaan itu dilakukan lantaran pasangannya berprasangka buruk terhadapnya.
Tak terima dengan perlakuan sang kekasih, S mengaku hilang kesabaran. Ia meluapkan amarahnya dengan berbalik memperlakukan kasar pasangannya. Kendati demikian, S selalu meminta maaf dan menyesali perbuatan kasarnya pada sang kekasih.
“Pertama dia dulu yang nampar, terus aku gak terima. Udah terlanjur emosi ya aku tampar dan tendang balik sampai kepalanya tak benturin tembok. Tapi habis itu nyesel sih. Akhirnya aku panggilin tukang pijit,” ujarnya.
Lebih dari itu, kekasih S sempat hampir melakukan percobaan bunuh diri lantaran sering bertikai. S mengaku, selama menjalin hubungan dengan sang kekasih, mereka kerap memutuskan untuk berpisah. Namun setelah berpisah mereka mencoba menjalin hubungan kembali dengan komitmen tak akan berbuat kasar satu sama lain. “Pengen putus waktu awal ditendang dulu. Gak terima aja cowok digituin sama cewek. Tapi ya masih sayang sama dia, akhirnya tak kasih tahu baik-baik,” tuturnya.
Dari kejadian itu, S tetap ingin mempertahankan hubungan mereka dan menganggap permasalahan ini sebagai hal biasa yang nantinya akan terus mereka alami ke depannya. Bahkan S hingga kini selalu memenuhi kebutuhan sang kekasih dalam mempercantik diri.
Dalam dua kasus yang berbeda ini, terdapat kesamaan dari sisi psikologi. Menurut Psikolog Diana Mayorita, toxic relationship menunjuk pada suatu hubungan kondisi relasi yang dijalani berdampak buruk pada psikis maupun fisik yang menjalani.
Toxic Relationship Karena Harga Diri yang Rendah
Toxic Relationship merupakan hubungan tidak sehat yang sudah muncul sejak belum adanya kesetaraan gender. Menurut Psikolog Diana Mayorita, salah satu faktor seseorang bertindak toxic lantaran memiliki self esteem (harga diri) yang rendah.
“Baik pelaku maupun korban sama-sama memiliki penghargaan diri yang rendah. Hanya saja, kondisi yang dimunculkan berbeda,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Berbeda dengan kepribadian introvert. Seorang introvert bukan berarti memiliki penghargaan diri yang rendah. Meski memungkinkan untuk bertindak toxic, hal tersebut lebih menunjuk pada ekspektasi yang dimiliki tinggi, tetapi kecewa karena realitanya tidak sesuai.
Setiap individu memiliki potensi untuk mengalami toxic relationship. Namun kesadaran setiap orang saat berada dalam hubungan tidak sehat berbeda-beda. Ada yang cepat menyadari dan ada yang sulit. Bahkan tidak menyadari jika berada dalam toxic relationship. “Biasanya orang-orang demikian akan menyadari ketika sudah ada dampak-dampak yang dirasakan,” tambahnya.
Diana menjelaskan beberapa ciri tindakan toxic relationship. Bentuk toxic yang dilakukan tidak hanya berupa kekerasan. Tindakan manipulatif dalam bentuk seksual hingga finansial yang merugikan salah satu pihak juga menjadi tanda awal hubungan tidak sehat. “Bahkan ada juga yang dinamakan hubungan ambivalensi yang membuat mereka menjalani hubungan dengan merasakan cinta dan benci sebagai perasaan yang saling tumpang tindih,” ungkapnya.
Dalam suatu kasus toxic relationship, sambungnya, tindakan kekerasan yang berkelanjutan menimbulkan adanya abusive relationship. Tindakan abusive tersebut mencakup kekerasan secara fisik, emosional, finansial, verbal, maupun seksual. Terdapat pula siklus berulang yang terbagi menjadi tiga fase pada suatu abusive relationship, yaitu fase ketegangan, kekerasan, dan fase honeymoon atau bulan madu.
Diana menerangkan, fase pertama yang terjadi dalam suatu abusive relationship adalah fase ketegangan. Fase tersebut terjadi ketika suatu pasangan sering mengalami konflik kecil dan berlangsung dalam beberapa waktu. Kemudian fase kekerasan, pelaku melakukan kekerasan sebagai bentuk dari ledakan emosi. Serta fase terakhir fase bulan madu, pelaku bersikap 180 derajat berbeda dari sebelumnya.
Menurutnya pelaku akan melakukan berbagai macam cara agar pasangan tidak meninggalkannya. Dengan perubahan sikap demikian membuat korban iba dan justru merasa sangat bersalah jika tidak memaafkan.
“Tentu saja menjadi suatu angin surga bagi mereka yang memiliki self esteem yang rendah. Rasa dibutuhkan yang ditunjukan pelaku membuat korban merasa berharga dan lupa atas apa yang dilakukan selama ini,” katanya.
Jika seseorang berada dalam sebuah kondisi toxic relationship, Diana menyarankan lakukan evaluasi diri agar dapat mengetahui apakah suatu pola relasi dapat memberikan banyak manfaat atau sebaliknya.
Banyak orang sadar bahwa dirinya berada dalam kondisi toxic, namun enggan meninggalkannya karena merasa sudah banyak berkorban. Menggunakan prinsip ‘tidak ada sesuatu yang sia-sia’ menjadi mantra agar terlepas dari hubungan tidak sehat. Setelah itu melakukan self recovery sebagai motivasi menata hidup kedepan.
Toxic memang bukan menjadi sifat seseorang, melainkan sebuah pola relasi. Pola relasi tentu dapat diperbaiki asalkan individu tersebut menyadari pola relasi yang dijalani sudah tidak sehat.
Oleh karena itu, konsep kesetaraan dalam relasi perlu ditanamkan untuk bisa dipahami dan diaplikasikan setiap individu agar menjalin relasi yang sehat. “Dengan evaluasi personal individu dapat memperbaiki mindset pribadi sebagai landasan untuk menjalani pola relasi yang sehat,” ujarnya. (mg1/mg2/mg3/mg4/ida/bas)