RADARSEMARANG.COM, Semarang—Pembatalan sertifikat hak milik (SHM) warga Kebonharjo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, membuat warga berang. Mereka pun menggelar aksi penolakan terhadap pembatalan 56 sertifikat yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jateng tersebut, Minggu (16/2/2020). Dalam aksinya, warga memasang spanduk di 27 titik, di antaranya di flyover Pelabuhan Tanjung Emas dan Jalan Ranggawarsita.
Pembatalan sertifikat itu diketahui setelah pada 28 Januari lalu, BPN Jateng mengirim surat ke BPN Kota Semarang. Dalam surat itu, BPN Kota Semarang diminta membatalkan 56 sertifikat milik warga. Aksi Forum Warga Kebonharjo tersebut juga menyikapi ganti untung tanah milik warga yang terdampak proyek reaktivasi rel PT KAI menuju Pelabuhan Tanjung Emas.
“Hari ini (kemarin, Red) kita semua warga Kebonharjo turun melakukan pemasangan spanduk sebanyak 27. Aksi ini awal menyikapi surat BPN Jateng tersebut,” kata Ketua Forum Warga Kebonharjo Suparjo kepada RADARSEMARANG.COM.
Dikatakan, sebanyak 56 sertifikat itu merupakan bagian dari sertifikat warga Kebonharjo yang berjumlah 3.470 bidang. “Kalau 56 sertifikat itu dibatalkan dampaknya akan semakin berat terhadap sertifikat lainnya yang kini dimiliki warga,” ujarnya.
Menurut Suparjo, pembatalan sertifikat itu lantaran lahan yang ditempati warga diklaim milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) berdasarkan grondkaart atau peta tanah zaman Belanda. Dikatakan, sejauh ini PT KAI belum datang ke Kebonharjo. Sebab, sejak 17 September 2017, kasus sengketa tanah ini sudah diambil alih oleh Dirjen Kereta Api Kementerian Perhubungan. Sehingga PT KAI tidak ada kaitannya dengan warga Kebonharjo.
Ditambahkan, alasan penolakan atas surat BPN tersebut karena apa yang telah dikerjakan warga Kebonharjo sudah sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Menurutnya, justru pihak PT KAI yang membuat permasalahan dengan warga Kebonharjo, seperti surat gubernur pada 21 Maret 2014 terkait reaktivasi rel KA Stasiun Tawang-Pelabuhan Tanjung Emas.
“Mengapa ini kok tidak dilaksanakan, mengapa PT KAI tanggal 19 Mei 2016 melakukan eksekusi tanpa pengadilan? Padahal posisi warga Kebonharjo sesuai aturan pemerintah,” ungkapnya.
“Kita sudah kooperatif bilamana pemerintah menghendaki tanah di Kebonharjo atau dari Tawang ke pelabuhan silakan, tapi sesuai apa yang disepakati antara DPD RI dengan PT KAI tanggal 5 Oktober 2017 adalah ganti yang layak yang disepakati oleh warga,” imbuh dia.
Suparjo mengatakan, PT KAI pada 2016 sudah memberikan ganti rugi Rp250 ribu per meter, namun dinilainya tidak manusiawi sehingga pihaknya menolak. “Kalau permintaan warga sesuai kesepakatan warga seperti yang disepakati antara DPR RI dan PT KAI.
Ketua RW 7 Kelurahan Tanjung Mas Sugeng menambahkan, warga Kebonharjo merasa tertindas dengan adanya klaim kepemilikan lahan oleh PT KAI. Padahal warga sudah menempati lahan bertahun-tahun. Bahkan, dulu tanah di Kebonharjo merupakan rawa-rawa dan tidak ada tanda-tanda tanah tersebut milik PT KAI. “Harusnya PT KAI itu merawat lahan tersebut sebelum ditempati warga. Tetapi ketika lahan itu sudah bagus dan menjadi kampung, baru diakui miliknya,” protesnya
Dalam aksinya kemarin, warga Kebonharjo melakukan orasi dan memasang spanduk di lingkungan permukiman. Warga juga memasang spanduk besar bertuliskan “Kebonharjo Ilang, Warga Siap Perang” di flyover Pelabuhan Tanjung Emas.
Ditambahkan Suparjo, aksi mengumpulkan RW se-Kebonharjo dan LPMK memasang spanduk di 27 titik di Kebonharjo. Hal ini untuk menyikapi emosional warga Kebonharjo. “Aksi ini awal daripada aksi, kalau perlu aksi turun ke jalan. PT KAI di-deadline satu minggu dari kemarin. Kita tunggu konsep PT KAI,” tandasnya. (hid/aro)