SEMARANG, RADARSEMARANG.COM-Kekerasan terhadap perempuan sebagai kelompok rentan, perlu mendapatkan perhatian serius oleh semua pihak. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jawa Tengah mencatat, sejak tahun 2015–2019 ada 8.640 perempuan yang melapor bahwa dirinya mengalami kekerasan berbasis gender.
Bahkan, menurut Kepala DP3AP2KB Provinsi Jawa Tengah, Dra Retno Sudewi Apt M.Si MM, yang disampaikan Kepala Bidang (Kabid) Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan, Sri Dewi Indrajati, lebih dari 50 persen Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) di Jawa Tengah tidak memiliki akta nikah, 78 persen bercerai karena mengalami KdRT, 40 persen buta huruf serta 56 anak tidak memiliki akte kelahiran (Pekka dalam Kertas Usulan Masyarakat Sipil untuk RPJMD, 2018).
“Bahkan, pada tahun 2017 dari 4.965.855 jiwa penyandang PMKS, hanya 39.446 jiwa (0,79 persen) yang telah tertangani oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah dalam hal ini,” kata Dewi Indrajati saat membuka Media Gathering Tentang Perlindungan Perempuan Menyongsong Kongres Perempuan Jawa Tengah I, di Hotel Pesona Semarang, Selasa (5/11/2019).
Tak hanya itu, jelasnya, ternyata dari 120 anggota DPRD Jawa Tengah hasil Pemilu 2019, hanya terdapat 21 anggota DPRD perempuan atau hanya sebesar 19,16 persen. Padahal keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif DPRD Jawa Tengah pada Pemilu 2019 tercatat sebesar 40,6 persen.
“Padahal, perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan. Melalui perempuan, sosok pemimpin bangsa dilahirkan. Selain itu, perempuan juga ikut berjuang dalam upaya meraih dan mempertahankan kemerdekaan,” katanya.
Jika dirunut dari sejarah, imbuhnya, pada era penjajahan, perempuan Indonesia memang tidak mendapatkan haknya dengan baik. Mereka ditindas oleh penjajah, mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dan mendapat siksaan.
Sedangkan pada masa pergerakan, isu utama yang sedang hangat adalah mengenai pendidikan perempuan, perkawinan usia anak, kawin paksa, perceraian secara sewenang-wenang. Ketika itu perempuan hanya disiapkan menuju perkawinan dan hanya dianggap sebagai istri, ibu dan mengurus rumah tangga. “Karena nasib perempuan penuh ketergantungan, maka Kongres Perempuan Pertama untuk menyuarakan pentingnya perempuan Indonesia atas haknya. Ikrar ini dibacakan peserta Kongres Wanita I pada tanggal 22 Desember 1928 dan diperingati sebagai Hari Ibu,” jelasnya.
Namun, tandasnya, meski saat ini sudah 91 tahun pasca Kongres Wanita I atau sudah 74 tahun sejak Indonesia Merdeka, atau sudah 21 tahun reformasi, tetapi masalah kesenjangan dan diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi. Kemiskinan perempuan, ketidaksetaraan upah dan kesempatan pekerjaan, kekerasan dan perdagangan perempuan, perkawinan anak, kematian ibu dan rendahnya partisipasi politik perempuan di parlemen dan dalam pembangunan merupakan berbagai permasalahan yang masih dihadapi oleh perempuan.
“Karena itulah, dinas berniat menggelar Kongres Perempuan Jawa Tengah I. Kongres ini untuk membangun pemahaman yang sama dalam membangun keberpihakan terhadap perempuan. Terutama kalangan media yang memiliki kekuatan menuliskan isu-isu perempuan, sehingga ada keberpihakan terhadap perempuan dan anak yang sensitif gender,” katanya.
Sementara itu, Kongres Perempuan Jawa Tengah I akan dilaksanakan 25-26 November 2019 mendatang di UTC Hotel Jalan Kelud Raya Petompon Kota Semarang. Tema yang diusung kali ini adalah Menguatkan Kepemimpinan Perempuan untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Demokratis, Adil dan Sejahtera. (ida)