RADARSEMARANG.COM, Sebanyak 42 kepala keluarga (KK) atau sekitar 200 jiwa warga Jalan Depok Timur RT 06 RW 02, Kelurahan Kembangsari, Semarang Tengah resah. Pasalnya, rumah mereka bakal diratakan oleh pemilik lahan PT Sango Ceramics Indonesia (SCI). Lahan seluas 2.000 meter persegi yang kini dihuni warga itu diketahui status tanahnya milik PT SCI. Praktis, warga pun harus segera angkat kaki alias pindah tempat tinggal. Namun sampai saat ini, antara pihak warga masih tarik ulur dengan PT SCI untuk masalah ganti rugi bangunan mereka. Pihak warga meminta supaya diberikan ganti rugi yang layak. Dikarenakan meski status tanah milik PT SCI, namun bangunan rumah yang berdiri merupakan milik warga.
TANAH memang dingin. Namun setiap ada sengketa tanah, bisa menjadi urusan yang sangat panas. Begitulah yang terjadi pada sengketa tanah Jalan Depok Timur. Tanah yang berlokasi di Kelurahan Kembangsari, Kecamatan Semarang Tengah tersebut sudah tiga tahun atau sejak 2016 menjadi sengketa antara warga dan PT SCI.
Ketua RW 07 Achmad Fuad Yusuf menuturkan, lahan di wilayah RW-nya yang kini menjadi pusat sengketa. Hal tersebut berawal pada 2016 lalu, pengacara PT SCI datang membawa sertifikat HM No 81 atas nama Raden Mas Basoeki. Hal tersebut membuat warga kaget dan geger. Pasalnya, warga sudah menempati lahan itu sejak 1930 dan selama itu tidak sekalipun terganggu oleh status kepemilikan tanah yang mereka tempati.
Pria 69 tahun teresebut menceritakan, awalnya tanah yang menjadi sengketa tersebut milik tuan tanah berdarah Tionghoa. Guna menempati tanah tersebut, kata dia, warga membayar uang dengan sistem sewa kepada sang tuan tanah. Hingga pada 1958, muncullah produk hukum UU No. 1 Tahun 1958 mengenai penghapusan hak tanah partikelir (tuan tanah) yang secara langsung tanah tersebut berpindah kedudukan menjadi milik negara.
“Saat itu warga kurang mengikuti produk hukum. Bisa dikatakan buta dengan hukum. Tahunya ya cuma tinggal dengan damai dan tidak terusik di tanah tersebut. Lama kami tinggal hingga akhirnya pada tahun 1980, saat era Pemerintahan Presiden Soeharto kami mendapat kabar kalau semua tanah yang ditinggali harus didaftarkan. Akhirnya, kami mencoba mendaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun saat itu syaratnya kami harus memberi tali asih kepada tuan tanah terdahulu sesuai dengan yang diminta. Harusnya kalau tali asih kan semampu warga. Akhirnya, kami memutuskan tidak jadi menyertifikatkan tanah tersebut,” ceritanya kepada RADARSEMARANG.COM.
Ia melanjutkan, setelah sekian puluh tahun hidup dengan damai tanpa mempermasalahkan status tanah dan tempat tinggal mereka, masalah tersebut muncul. Pada 2016, PT SCI datang meminta hak atas tanah yang mereka tinggali dengan membawa sertifikat tanah HM No 81 atas nama Raden Mas Basoeki. Terkejut dan bingung menjadi reaksi awal warga. Pasalnya, setelah puluhan tahun tinggal, warga tidak pernah mengenal siapa itu Raden Mas Basoeki. Dan bagaimana bisa ia memiliki sertifikat atas tanah mereka. Dan yang lebih membuat warga bingung, sertifikat tersebut ada sejak 1979. Setahun lebih dulu sebelum warga mendaftarkan. Itulah yang membuat warga kalang kabut menanyakan bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
“Saat itu, saya dijelaskan pengacara mereka bahwa tanah tersebut menjadi milik Raden Mas Basoeki yang dulunya merupakan Direktur PT SCI. Karena dulu kepemilikan tidak boleh dari WNA, dan saat itu PT SCI dimiliki WNA, akhirnya mereka meminjam nama Raden Mas Basoeki. Dan sampai sekarang turun-temurun ke anaknya yang juga kerja di sana. Kami ya bingung. Bagaimana bisa hal tersebut terjadi. Kami tidak kenal Raden Mas Basoeki, tahu-tahu mereka bisa jadi pemilik tanah,” katanya sambil menghela nafas.
Ia menambahkan, kejanggalan mulai terlihat ketika salah seorang warga Depok Timur mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada 1986, yang di atasnya tertulis berdiri di atas tanah negara bukan di atas tanah milik Raden Mas Basoeki. Selain itu, pihaknya merasa, pemilik tanah telah menelantarkan tanah tersebut selama puluhan tahun karena tidak pernah mengurus segala hal yamg berhubungan dengan keperluan tanah seperti PBB dan lainnya. Wargalah yang selama ini mengurus pembayaran PBB tersebut. Dan alamat warga pun sesuai dengan lokasi mereka tinggal.
“Setahu saya ada aturan kalau pemilik tanah menelantarkan tanah lebih dari 5 tahun, mereka akan kehilangan hak mereka. Nah ini Raden Mas Basoeki sudah puluhan tahun menelantarkan. Kita yang membayar PBB dan segala pajak yang ada. Bukannya kalau mereka pemilik tanah, sejak tahun 1979 mereka yang bayar pajak. Nah ini malah baru beberapa waktu terakhir mereka mengurus ke kantor pajak. Tentu tidak masuk akal,” ujarnya.
Karena itu pihaknya menilai banyak kejanggalan yang terjadi. Mengenai penyelesaian permasalahan, dirinya menuturkan telah melakukan mediasi yang difasilitasi pemkot sebanyak empat kali. PT SCI memberikan alternatif solusi dengan memindahkan warga ke tanah mereka yang berada di Mangkang dengan rumah petak 5×5, serta mendapat uang tali asih Rp 7 juta -12 juta per KK. Namun pihaknya belum dapat memberi jawaban karena nilai tersebut dianggap tidak layak.
“Jumlah uang segitu bisa untuk apa? Untuk makan saja kurang. Kami sebenarnya pasrah. Kami juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka memiliki surat resmi. Tapi tolonglah perlakukan kami secara layak sebagai manusia. Kami juga sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di sini. Berilah ganti rugi yang wajar. Dan kami mohon Satpol PP jangan lah datang ke kampung kami. Kami merasa terintimidasi dan terkesan kami yang salah. Padahal saat ini belum jelas siapa yang salah,” ucapnya dengan nada kecewa.
Ia yang saat ini menjadi generasi ketiga yang tinggal di rumah tersebut meminta agar warga mendapat keadilan yang layak. Mereka mengaku siap mengikuti segala prosedur yang ada, termasuk ke ranah hukum yang dilakukan PT SCI. Namun pihaknya memastikan tidak akan memasukkan permasalahan ini ke ranah pengadilan dan memilih penyelesaian secara damai.
Hal senada diungkapkan Ketua RT 06 RW 02 Ramli. Warganya mengaku dibuat bingung oleh klaim PT SCI terhadap wilayah yang sudah mereka tinggali sejak 1930 tersebut, “Sertifikat itu yang tidak jelas. Kita punya IMB, tapi antara IMB dan sertifikat itu tidak sinkron” ujar Ramli.
Meski Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kampung Depok Timur baru dimiliki oleh dua rumah, namun izin tersebut sudah terbit sejak 1988. PT SCI sendiri mengklaim sudah mengantongi sertifikat sejak 1979. Logikanya, seharusnya saat warga mengurus IMB tahun 1988, pemkot menolaknya karena warga membangun di atas lahan milik PT SCI. “Tapi, nyatanya permohonan IMB warga diloloskan oleh pemkot,” katanya.
“Warga sini juga bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sudah bayar semua setiap tahun,” tambahnya.
Dikatakan, lembaran PBB yang dimiliki warga juga sesuai alamat KTP warga di Kampung Depok Timur. Diakui, dulu sebenarnya warga hendak mengurus sertifikat tanah yang ditempati. Namun saat itu terkendala biaya.
Ramli menambahkan, warga sempat menemukan kejanggalan dari sertifikat tanah yang dimiliki PT SCI. Sebab, saat ditelusuri terdapat ketidakcocokkan nomor seri sertifikat yang dimiliki PT SCI dengan yang tertera di buku tanah. “Sertifikatnya itu abal-abal, nomor serinya beda dengan yang ada di buku tanah” ujarnya.
Warga sendiri sudah menyiapkan segala berkas yang menjadi bukti mereka, seperti IMB dan PBB. “Sudah disiapkan semua itu, sudah komplit. Kita sudah bayar PBB bertahun-tahun. Ada yang Rp 500 ribu, Rp 800 ribu. Semuanya sudah berlokasi di sini” tuturnya.
Ramli mengaku siap jika memang putusannya memenangkan pihak PT SCI. “Kalau kita kalah ya sudah, kita pergi. Tapi kalau mereka yang kalah, ya mereka ikut warga”. Pihaknya juga mempertanyakan perihal keaslian sertifikat tanah milik PT SCI. Selain nomor serinya berbeda dengan di buku tanah, warga mengaku tidak pernah ditunjukkan sertifikat aslinya. “Hanya kopiannya saja, yang aslinya kita tak pernah diperlihatkan” ungkap pria yang kesehariannya menjaga warung ini.
Jamil Pasaribu, warga RT 06 RW 02 mengaku enggan meninggalkan tempat tinggalnya, “Kalau saya, tidak mau pindah. Saya sudah lama di sini” ungkapnya. “Saya dari lahir sudah di sini, KTP semua saya juga di sini” tambahnya.
Sedangkan Ramli sendiri tidak masalah jika diminta pindah. Hanya saja, gantinya harus sepadan, “Kalau rumah, ya diganti rumah”ucapnya.
Diakui, rata-rata lahan di kampung itu sudah ditempati warga hingga empat generasi. Bahkan, dulunya kawasan Kampung Depok Timur itu adalah kampung pejuang. “Pertempuran Lima Hari di Tugu Muda itu, banyak pejuangnya dari sini” klaimnya. (akm/mg6/mg7/aro)