RADARSEMARANG.COM, SEMARANG – Kalangan perbankan, koperasi, dan ventura hadir dalam seminar Akubank Executive Program pada 13-14 Maret 2023 di Bali. Kegiatan bertema Your Execution Needs Strategy tersebut, juga diikuti Komisaris Utama dan Pemegang Saham Pengendali (PSP) BPR Arto Moro, Dr. H. Subyakto, SH,MH, MM; President Commisioner BPR Universal, Kaman Siboro; dan Founder BPR Lestari Group, Alex P Chandra.
Dirut BPR Arto Moro, Darmawan S.Sos menyampaikan, kegiatan yang diinisiasi oleh Akubank dan BPR Lestari Bali, salah satu cara untuk terus membina kebersamaan dan soliditas antar-BPR.
Kebersamaan melalui pelatihan, workshop maupun seminar, akan membuat BPR semakin solid, tumbuh bersama, dan saling membantu.
“Bukannya saling menjegal,” kata Darmawan. Ini seperti tema yang pernah diangkat oleh BPR Arto Moro dalam seminar, beberapa bulan lalu.
Yakni, “Menuju Kolaborasi BPR: Tumbuh Bersama, Maju Bersama”. Harapannya, terus terbina komunikasi dan kegiatan yang bertujuan untuk semakin menguatkan kerja sama, demi kemajuan dan pertumbuhan BPR di Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Subyakto bersama pimpinan BPR Lestari membicarakan tindak lanjut program kolaborasi dan kerjasama BPR seluruh Indonesia.
Pada seminar tersebut, salah satu peserta, Sugiarno, mengatakan, pelaksanaan eksekusi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Antara lain, faktor internal dan eksternal.
Menurutnya, eksekusi suatu program atau strategi relatif menjadi lebih sulit, ketika terjadi resistensi atau penolakan dari eksternal. Di antaranya, dari stakeholder maupun otoritas yang lebih tinggi.
“Seringkali bank sudah membuat strategi dan inovasi yang disusun sedemikian rupa melalui kajian mendalam dengan harapan akan tercipta pertumbuhan dan kemajuan bank. Namun, pihak otoritas dengan berbagai pertimbangannya, justru tidak mendukung dan tidak memberi ruang gerak untuk pelaksanaan inovasi tersebut,” tutur Sugiarno.
Sugiarno melanjutkan, penolakan atau resistensi dari internal lebih mudah diatasi. Semisal, dengan kepemimpinan dan sistem review yang baik, penolakan dapat diubah menjadi dukungan. Namun, menurut Sugiarno, kondisi berbeda jika penolakan atau ketiadaan dukungan, berasal dari eksternal.
“Ketika membuat strategi, tentunya tidak mungkin bagi pimpinan bank untuk menyusun rencana bisnis bank yang merugikan ataupun menjerumuskan perusahaannya. Strategi tersebut pasti sudah disusun sedemikian rupa, dengan mempertimbangkan berbagai indikator, skenario, kekuatan dan kelemahan. Sepanjang tidak melanggar aturan dan tidak membahayakan perusahaan, inovasi dan strategi tersebut harusnya didukung oleh otoritas terkait sehingga dapat dilakukan dengan baik,’ lanjut Sugiarno .
Masih menurut Sugiarno, strategi yang disusun bank kerap tidak bisa dieksekusi dengan baik, karena otoritas terlalu dalam melakukan intervensi. Otoritas terlalu mengatur hal-hal yang teknis dengan alasan tata kelola.
Selaku pengawas dan pembina, otoritas seharusnya memberi ruang gerak yang leluasa agar bank bisa tumbuh. Bukannya malah dihambat. Sepanjang tidak melanggar aturan dan tidak mengganggu likuiditas, lanjut Sugiarno, inovasi dan strategi bank seharusnya didukung bukan malah dipersulit.
“Banyak pengawas yang justru membatasi ruang gerak bank dengan membuat aturan sendiri di luar aturan resmi yang dikeluarkan perundang-undangan ataupun OJK. Peran OJK selaku pengawas dan pembina bank tidak dijalankan dengan baik. Bukannya membina, pengawas justru menjustifikasi bank seolah terperiksa atau terawasi yang selalu keliru.” Untuk itu, Sugiarno berharap agar antara perbankan dan otoritas dapat terjalin hubungan baik dan sportif.
Sehingga strategi yang telah disusun pelaku perbankan dapat dijalankan dengan baik. Ia berharap Otoritas dapat memberi ruang bagi perbankan untuk berinovasi dan tumbuh, melakukan pengawasan sesuai dengan koridor yang telah diatur oleh perundangan, juga tidak melakukan pelampauan kewenangan dengan melakukan pengawasan yang terlalu teknis, sehingga terkesan mengintervensi strategi serta urusan internal pelaku perbankan. (*/ikl/isk)